JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Kerja Sama Internasional DPP Partai Keadilan Sejahtera M Anis Matta menyambut baik rencana deklarasi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi bakal calon presiden untuk Pemilu Presiden 2019.
Anis Matta berpendapat, saat ini tengah terjadi desakralisasi kekuasaan, dalam arti positif.
"Banyaknya individu dan atau partai politik yang mengajukan pencapresan menunjukkan adanya desakralisasi kekuasaan. Kekuasaan sudah dimaknai sebagai cara pengabdian masyarakat," kata Anis, dalam siaran pers, Selasa (20/3/2018).
Anis pun berpendapat, semakin banyak calon presiden yang maju dalam Pilpres 2019 juga akan berdampak baik bagi demokrasi.
"Orang kini melihat kekuasaan bukanlah sesuatu yang sakral. Siapa saja yang merasa punya gagasan untuk memperbaiki Indonesia, silakan menawarkan gagasannya kepada publik," kata mantan Presiden PKS tersebut.
Menurut Anis, proses desakralisasi kekuasaan ini juga penting untuk meredam tensi politik di masyarakat. Harapannya, ujar dia, kompetisi politik dapat dilalui bersama dengan gembira.
"Berpolitik itu harus dengan suasana hati yang gembira, sehingga kita tidak mudah terbawa perasaan," imbuh Anis.
Berpolitik secara gembira, lanjut Anis, juga mencerminkan kematangan dan kedewasaan berdemokrasi. Orang yang sudah matang, tegas dia, dalam politik tidak akan mengambil jalan pintas kekerasan.
Pencapresan di internal PKS
Terkait proses penyiapan bakal calon presiden dan atau bakal calon wakil presiden di internal PKS, Anis mengaku mendapat kehormatan menjadi satu dari sembilan kandidat.
(Baca juga: Masuk Bursa Capres PKS, Ini yang Disiapkan Anis Matta)
Selain mengapresiasi proses internal pencalonan itu, Anis mengatakan, saat ini yang sedang dia kerjakan adalah merespons aspirasi dari para pendukungnya.
"Sahabat-sahabat saya, anak-anak muda, datang ke saya dan menyatakan kesediaan untuk bergerak. Saya bersyukur dan mengapreasiasi dengan cara berpartisipasi dalam program-program mereka," ungkap Anis.
Anis pun mengaku, belakangan ini cukup sering mengisi seminar atau forum-forum internasional, khususnya di negara-negara dengan banyak penduduk Muslim. Menurut dia, para politisi, aktivis dan akademisi di banyak negara yang dia sambangi tertarik dengan peran Islam dalam transisi demokrasi di Indonesia.
Sebelumnya, Anis berpendapat, Indonesia perlu membuat lompatan besar demi kemajuan bangsa. Bicara dalam Musyawarah Kerja Nasional Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA-KAMMI), Sabtu (3/2/2018), Anis menyebut pendalaman ulang atas sejarah bangsa akan menjadi modal penting bagi upaya mendapati arah baru Indonesia.
(Baca juga: Mantan Presiden PKS: Santai Saja, Kita akan Lakukan Lompatan Besar)
"(Namun), santai saja, kita akan melakukan lompatan besar. Kita akan lakukan rencana besar, tapi tidak usah tegang," kata Anis, waktu itu.
Anis pun lalu mengurai, ada beberapa tahapan sepanjang sejarah yang dilewati Indonesia. Pertama, sebut dia, era pembentukan Indonesia dari sistem kerajaan menjadi republik. Kedua, tahap membangun bangsa yang modern, ditandai dengan terbentuknya Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi.
"Ini eksperimen kita sebagai bangsa dalam membangun institusi negara kita sebagai bangsa modern," kata Anis.
Masing-masing tahapan, ujar ANis, memberikan sumbangsih tersendiri terutama terakiat fondasi konstitusi dan kehidupan bernegara. Meskipun, imbuh dia, tiap era juga ada catatan tersendiri.
"(Era terkini, yaitu) era reformasi datang untuk membuat sintesa bahwa kita bisa mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan," kata Anis.
Sayangnya, lanjut Anis, demokrasi dan kesejahteraan belum juga terlihat menyatu hingga saat ini. Menurut dia, pemilihan pemimpin nasional dalam kontestasi-kontestasi mendatang harus mencermati hal ini.
"Indonesia ini kalau punya leadership yang berpengetahuan akan membuat kita terbang tinggi. Yang membuat kita terbang rendah karena perangkat pengetahuan kita itu yang tidak jelas," kata Anis.
Pemimpin Indonesia, ujar Anis, semestinya memiliki cara dan pengetahuan yang memadai untuk "terbang tinggi" dan melakukan lompatan besar.
"(Saat ini), tempat kita masih jadi medan pertarungan geopolitik negara-negara besar," ujar dia.