JAKARTA, KOMPAS.com - Alih-alih merevisi Undang-undang Pencegahan Penodaan Agama (UU PPA) sebagaimana putusan MK tahun 2010, pemerintah dan DPR malah memasukkan pasal penodaan agama di RKUHP.
Hal itu disampaikan Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Abidin Bagir dalam konferensi pers oleh sejumlah tokoh menyikapi RKUHP, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Menteng, Jakarta, Senin (19/3/2018).
Zainal mengatakan, tahun 2010, pernah dilakukan judicial review atau uji materi terhadap undang-undang penodaan agama di MK.
Meski putusan MK saat itu menyatakan bahwa undang-undang tersebut masih konstitusional tetapi MK menyarankan dilakukan revisi.
"MK mengatakan, undang-undang itu masih konstitusional. Tapi ada catatan panjang dalam putusan MK itu yang intinya mengakui undang-undang (penodaan agama) itu bermasalah, tapi supaya tidak ada kekosongan hukum, dia tidak dibatalkan, tapi undang-undang itu perlu direvisi," kata Zainal.
(Baca juga: Pasal Penodaan Agama di RKUHP Dinilai Bisa Memicu Kasus Persekusi)
Namun, sudah 8 tahun sejak uji materi tersebut diajukan, dia menilai pemerintah dan DPR tidak mengikuti saran MK tersebut.
"Saya kira tidak ada respons sama sekali dari pemerintah maupun legislator terhadap saran untuk melakukan revisi," ujar Zainal.
Malahan, lanjut dia, dalam RKUHP yang sedang dibahas pemerintah dan DPR saat ini, muncul pasal mengenai penodaan agama.
"Menurut saya perumusan seperti ini tidak mengindahkan saran yang diberikan MK saat itu, untuk revisi, berhati-hati supaya tidak lebih kabur, tidak diskriminasi, dan sebagainya," ujar Zainal.
Dia mengatakan, ketidaksetujuannya terhadap pasal penodaan agama dalam RKUHP saat ini bukan berarti dia setuju untuk 'menutup mata' penghinaan terhadap agama. Tetapi dia menilai ada cara lain di luar sanksi pidana, yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal itu.
"Dalam masyarakat kita, saya kira mungkin tidak semua masalah diselesaikan melalui hukum, apalagi hukum pidana. Nah, saya kira termasuk ini," ujar Zainal.
(Baca juga: UU Penodaan Agama Dinilai Kerap Dipakai untuk Mendiskriminasi Minoritas)
Apalagi, dalam aturan hukum negara ini, dia menyatakan sudah ada pasal lain yang bisa diterapkan misalnya untuk kasus kekerasan kepada pemuka agama atau perusakan tempat ibadah.
Menurut dia, beberapa negara Asia, Afrika dan Eropa memang masih ada yang memakai blasphemy law dalam sistem hukum mereka.
Tetapi, aturan tersebut belakangan sudah mulai banyak diubah atau ditinggalkan oleh negara-negara yang sebelumnya memakai aturan tersebut.
"Dan ada suatu penelitian juga, semua negara itu baik Eropa, Asia, Afrika, yang punya undang-undang seperti itu tidak satupun bebas dari masalah. Masalah itu bahwa undang-undang itu mendiskriminasi nantinya, menguntungkan sebagian kelompok, biasanya yang besar atau kuat," ujar Zainal.