JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai bahwa Presiden Joko Widodo perlu mengambil sikap terhadap pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Miko menilai saat ini masih ada sejumlah pasal dalam draf RKUHP yang tidak berbasis pada perlindungan masyarakat.
"Presiden sebaiknya memerintahkan Menkumham untuk menyetop pembahasan. Langkah berikutnya Presiden seharusnya melakukan evaluasi terhadap materi-materi dalam RKUHP dengan mendengarkan lebih banyak pihak," ujar Miko kepada Kompas.com, Kamis (8/3/2018).
Miko mengatakan, Presiden Jokowi perlu secara cermat dan serius mengambil sikap terhadap pembahasan RKUHP dengan basis perlindungan terhadap hak masyarakat.
Ia memandang posisi politik pemerintah tentang RKUHP tidak didukung oleh argumentasi yang berbasiskan situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Pengutipan data, kata Miko, seharusnya merepresentasikan penduduk Indonesia dan bukan segelintir kalangan saja. Hal itu membuat beberapa pasal dalam draf RKUHP masih menjadi polemik seperti perluasan pasal zina, kumpul kebo dan penghinaan terhadap presiden.
Begitu juga dengan tindakan tetap mempertahankan perbuatan yang seharusnya didekriminalisasi seperti menunjukkan alat kontrasepsi di muka umum.
"Terlihat posisi RKUHP yang berupaya masuk jauh ke ranah privat, bertentangan dengan hak asasi manusia, serta memberikan porsi yang besar kepada negara untuk mengontrol perilaku masyarakat," kata Miko.
Masyarakat adat terancam
Staf Direktorat Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tommy Indriadi Agustian menilai bahwa perluasan pasal zina dalam draf RKUHP berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat.
Pasal 460 ayat 1 huruf e draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana karena zina dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
"Pasal zina yang diperluas ini agak dilematis. Kan ada kelompok lain yang kita sebut masyarakat adat sebagai penghayat kepercayaan. Masyarakat adat juga bisa kena," ujar Tommy saat dihubungi, Rabu (7/3/2018).
Tommy menjelaskan, dalam masyarakat adat, hukum perkawinan itu diatur dalam hukum adat atau mengikuti ritual agama leluhur sebagai penghayat kepercayaan. Umumnya, perkawinan dilakukan berdasarkan hukum adat dan tidak dicatatkan secara administrasi negara.
Sementara definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah yang dicatat oleh negara dalam administrasi kependudukan.
Menurut Tommy, kendati Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengakui keberadaan penghayat kepercayaan, namun Kementerian Dalam Negeri belum memiliki mekanisme atau pedoman teknis pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan.