JAKARTA, KOMPAS.com -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, kekhawatiran publik bahwa pasal penghinaan presiden dalam Rancangan KUHP bisa membungkam aspirasi masyarakat, tidak beralasan.
Sebab, pendapat berupa kritik tentu tidak dapat dijerat menggunakan pasal itu. Hanya pendapat yang mengandung unsur penghinaan atas personal yang termasuk dalam jangkauan pasal tersebut.
"Orang harus bedakan mana kritik, mana penghinaan. Contoh saya sebagai menteri. Saudara mengatakan Menkumham Yasonna Laoly ngurus Lapas enggak becus, ngurus imigrasi enggak becus. That's fine with me," ujar Yasonna saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Baca juga : Pasal Penghinaan Presiden Dianggap Bisa Jadi Alat Memukul Lawan Politik
"Tapi kalau mengatakan kepada saya, mamanya Pak Laoly enggak jelas siapa, wah itu saya kejar kau. Sampai ke liang lahat pun saya kerja kau, karena itu merendahkan personal, merendahkan martabat, bukan budaya kita," lanjut dia.
Saat ditanya pasal yang mengatur tentang pemidanaan bagi pelaku penghinaan sudah diatur dalam KUHP saat ini, menurut Yasonna, hal itu tidaklah cukup. Sebab, pasal itu mengatur tidak spesifik kepada presiden.
Di sisi lain, presiden adalah salah satu simbol negara yang harus dijaga kehormatannya dan wibawanya, terutama oleh rakyatnya sendiri.
Baca juga : Jika Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan, Sangat Mungkin Dibatalkan MK
"Presiden ini kan dipilih rakyat, beda. Ini soal kehormatan pimpinan negara," ujar dia.
Yasonna meminta masyarakat tidak khawatir pasal tersebut akan berdampak kepada pembungkaman suara rakyat. Menurut dia, RKUHP itu juga akan memuat secara rinci tindakan seperti apa saja yang termasuk ke dalam kategori penghinaan terhadap kepala negara.
"Nanti akan dijelaskan di dalam ketentuan perudangan, ada penjelasannya," lanjut dia.