JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah terus berupaya agar pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih tertahan pembahasannya di DPR RI dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, Kemenkumham terus berkomunikasi dengan DPR untuk bernegosiasi soal sejumlah pasal dalam RKUHP yang menjadi sorotan publik.
"Hasilnya ya kita lihat nanti, namanya juga sedang negosiasi," ujar Yasonna saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Baca juga: Dewan Pers Minta RUU KUHP Tak Buru-buru Disahkan DPR
Proses negosiasi ini yang membuat RKUHP gagal disahkan pada akhir masa sidang DPR dan akan dilanjutkan pembahasannya setelah masa reses.
"Karena enggak ngejar menyelesaikan sampai akhir masa sidang yang lalu. Karena masih ada isu yang harus didalami secara maksimal," ujar Yasonna.
Saat ditanya pasal- pasal apa yang masih dinegosiasi dengan DPR, Yasona enggan menyebutkannya.
"Ya kalian (wartawan) sudah tahulah semuanya," ujar dia.
Meski demikian, Yasonna memastikan tidak terjadi deadlock antara pemerintah dengan DPR RI mengenai RKUHP.
"Masih terus, masih jalan. Enggak (deadlock)," ujar dia.
Baca juga: Rumuskan KUHP, DPR dan Pemerintah Diminta Tak Pakai Cara Instan
Diberitakan, Panitia Kerja DPR telah selesai membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana. Namun, gagal disahkan dalam sidang paripurna atas alasan masih ada pasal yang membutuhkan pembahasan lebih mendalam.
Sejumlah pasal pada RKUHP diketahui masih menuai polemik di publik.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai, DPR maupun pemerintah perlu menghentikan semua proses dan menunda pengesahan RKUHP karena memiliki permasalahan mendasar.
Pertama, penyusunan pasal-pasal dalam RUU KUHP itu menyangkal kebutuhan terpenting dalam sistem hukum yaitu adanya monitoring dan evaluasi ketentuan pidana.
Kedua, RKUHP masih mempertahankan pasal yang pernah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: DPR Perpanjang Pembahasan Rancangan KUHP
Ketiga, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akademik, pembaruan terhadap KUHP memiliki misi besar sebagai peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional.
Salah satu turunan dari tujuan besar tersebut adalah dekolonialisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, demokratisasi hukum pidana, dan penyesuaian terhadap perkembangan nasional maupun internasional.
Namun, dari RKUHP yang ada hingga saat ini, terlihat bahwa misi untuk melakukan setidaknya demokratisasi hukum pidana belum tercapai. Ancaman pidana penjara masih cukup tinggi dan dikedepankan.