Perhatian belum serius
ECPAT bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan penelitian pada 2016-2017 di 10 destinasi wisata. Sepuluh destinasi tersebut adalah Pulau Seribu, Jakarta Barat, Garut, Gunung Kidul, Lombok, Karang Asem, Kefamenahu, Toba Samosir, Teluk Dalam, dan Bukittinggi.
Dari 10 destinasi wisata tersebut, ECPAT menemukan adanya kasus eksploitasi seksual anak di setiap daerah, kecuali di Gunung Kidul.
Sofyan mengatakan, hanya Gunung Kidul yang memiliki langkah pencegahan terhadap kasus tersebut.
"Di sana ada pusat rehabilitasi, organisasi masyarakat sipil yang responsif, pemerintah daerah sudah mulai melakukan upaya pencegahan. Tapi sembilan lainnya belum," kata dia.
(Baca juga: Pemerintah Diminta Dampingi Pelaku dan Korban Pedofil)
Selain tak ada upaya pencegahan dari pihak-pihak terkait, beberapa daerah bahkan ditandai dengan warna merah. Artinya, situasi eksploitasi sosialnya sangat buruk.
Daerah yang ditandai warna merah adalah Jakarta Barat, Garut, Lombok, dan Teluk Dalam. Di daerah-daerah tersebut terjadi perdagangan seks anak, pornografi online anak, dan pelacuran anak.
Sofyan menambahkan, yang melakukan eksploitasi tak hanya wisatawan mancanegara namun juga wisatawan domestik.
Ada wisatawan yang memang datang untuk mencari anak-anak dengan maksud praktik eksploitasi anak. Namun, ada pula wisatawan yang berniat wisata, kemudian menemukan praktik tersebut.
"Contoh di Garut, tim kami malam ditawarkan. Mau anak SD, SMP, atau SMA. Itu yang menawarkan orang setempat. Apakah suruhan hotel atau inisiatif. Jadi (ada wisatawan) niatnya wisata tapi ditawari anak-anak untuk kebutuhan seks. Sehingga wisatawan tadi terpengaruh," tuturnya.
(Baca juga: Australia Rancang Aturan Cegah Pedofil Berpergian ke Luar Negeri)
Padahal, pariwisata dinilai dia memiliki nilai positif yang sangat luar biasa. Efeknya juga sampai kepada desa-desa di destinasi wisata. Bagaimana program pariwisata bisa secara nyata menyejahterakan masyarakat setempat.
Oneng menilai adanya sejumlah kendala yang dihadapi. Misalnya kewenangan desentralisasi sehingga kewenangan Kemenpar juga terbatas untuk menjangkau daerah-daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Kerja sama terus dilakukan dengan banyak institusi terkait. Oneng memastikan pihaknya terus berupaya menjadikan destinasi wisata kondusif dan mencegah setiap penyalahgunaan, terutama eksploitasi anak.
"Kami pun akan dirugikan jika ini terjadi. Padahal banyak wisatawan yang betul-betul ingin berwisata. Kami belum maksimal karena kewenangan kami juga terbatas, tapi bagaimana kami meningkatkan sinergi kami dengan institusi terkait hampir di semua lini," kata dia.
(Baca juga: Pengelola Grup Facebook Pedofil Terkoneksi dengan Warga 11 Negara Lain)
Oneng menambahkan, salah satu langkahnya adalah dengan terbitnya Peraturan Menteri Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan Eksploitasi Anak di Lingkungan Pariwisata.
Ia memastikan Kemenpar akan semakin intensif mensosialisasikan pedoman tersebut, terutama kepada Pemda, pelaku industri di daerah hingga masyarakat setempat.
"Bagaimana kita mengajak seluruh stakeholder pariwisata untuk menciptakan destinasi yang kondusif. Agar kegiatan pariwisata tetap tumbuh dan berkembang," kata Oneng.