JAKARTA, KOMPAS.com - "Lho ojo dipangan sik (segane). Kowe ngerasake ora segane kenyel-kenyel? (Lho, jangan dimakan dulu Kamu ngerasa enggak, nasinya kenyal?),"ujar seorang pemuda kepada kawannya saat makan siang.
"Heeh. Kenapa emange?" (Iya. Kenapa emangnya?) jawab si kawan.
"Iki lho, aku oleh broadcast seko koncoku. Jebul, sego iki seko beras plastik. (Ini lho, aku dapat broadcast dari temanku. Ternyata, nasi ini dari beras plastik)," ujar si pemuda yang mendapat broadcast.
Hanya berdasar informasi dari broadcast, keduanya memutuskan untuk tidak melanjutkan makan. Berdua akhirnya meninggalkan meja dan beralih mencari menu pengganti, mie ayam.
Selama berhari-hari, mereka tidak mengasup nasi lantaran takut mengonsumsi beras plastik. Hingga suatu ketika, salah seorang diantaranya terlihat sangat lemah tak berdaya.
"Bro ngapuroni yo (Bro, maafin ya)," kata si kawan dari pemuda yang mendapat informasi dari broadcast.
Seorang narator muncul usai adegan memilukan itu. Dia menyampaikan bahwa menyebarkan berita hoaks bisa berakibat fatal. Ia pun mengajak penonton berfikir, bagaimana jika tidak langsung menyebarkan berita hoaks.
Adegan selanjutnya kilas balik ke kejadian makan siang, namun dengan perubahan skenario. Si pemuda yang mendapat broadcast beras plastik tadi, tidak langsung mengabarkan kepada si kawan.
Apa yang dia lakukan tak lain adalah mengecek kebenaran informasi yang didapat dengan sumber lain yang terpercaya.
"Sik-sik ya, golek neng Google. Oke Mbah Google, apakah beras plastik itu ada?" penelurusan pun dimulai.
Muncullah informasi mengenai klarifikasi isu beras plastik. Setelah mendapat informasi dari sumber yang lebih kredibel, keduanya pun merasa tenang dan melanjutkan makan siang dengan menu nasi telur.
"Yo jelas iki aman. Beras plastik nek digodok kan mlonyot (Ya jelas ini aman. Beras plastik kalau dimasak kan meleleh)," kata si kawan.
Video berdurasi empat menit tiga belas detik berjudul "Hoaxmogenesis" itu merupakan satu dari enam video terpilih dalam program yang digelar YouTube Creators for Change dan Ma'arif Institute, yaitu #1nDONEsia: Cerdas Bermedia Sosial.
Video maker-nya adalah anak-anak muda dari Semarang, yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas, terdiri dari SMK Negeri 7 Semarang, SMA Negeri 7 Semarang, SMA Negeri 6 Semarang, dan SMA Kolese Loyola Semarang.
Selain "Hoaxmogenesis", lima video terpilih yaitu Beda Bahasa Beda Budaya Tapi Tetap Indonesia (Jakarta), Mengapa Perbedaan Memisahkan Kita (Yogyakarta), Egoku (Bandung), Majemuk (Surabaya), dan Indonesia Bhinneka! (Bandung) sebagai video favorit pilihan dewan juri.
Kepala Kebijakan Publik Google dan YouTube Indonesia Shinto Nugroho menuturkan, pelatihan #1nDONEsia: Cerdas Bermedia Sosial ini bertujuan memberdayakan generasi muda lewat kreasi video positif bernilai toleransi dan keberagaman.
Progam ini telah melatih lebih dari 2.000 pelajar di 100 SMA/SMK yang tersebar di 10 kota yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bali, Pontianak, Ambon dan Makasar.
"Kenapa kami mengadakan acara ini, karena kami belajar, membuat konten berkualitas adalah misi dari YouTube. Memperkuat suara YouTubers untuk mendatangkan perubahan sosial," kata Shinto.
Senada dengan Shinto, Direktur Eksekutif Abdullah Daraz mengatakan YouTube memiliki peran penting dalam membendung konten negatif. Menurut Daraz di samping berita bohong, saat ini mudah sekali nilai-nilai radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme menyusup ke generasi muda lewat gawai.
"Program ini membangun kesadaran kritis siswa kita terhadap konten," ucap Daraz.
Pelatihan ini juga menggandeng Cameo Project sebagai duta program YouTube Creators for Change dari Indonesia. Mereka adalah Martin Anugrah, Andry Ganda, Bobby Tarigan, Reza Nangin, Steve Pattinama, serta Yosi Mokalu.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Setyo Wasisto mengatakan, Polri mengajak masyarakat untuk berinternet sehat. Ada tiga hal yang harus dipahami dalam berinternet sehat.
Pertama, apakah konten yang dilihat atau dibaca masuk logika atau tidak. "Kalau tidak masuk logika, ya jangan di-share," kata Setyo.
Kedua, apakah konten yang dilihat atau dibaca beretika. Dan terakhir dari segi estetika, apabila tidak memenuhi unsur estetika, sangat disarankan untuk tidak disebarlauskan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.