JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat setidaknya ada delapan dari 50 rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 yang perlu dikawal dengan serius.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, delapan RUU berkaitan dengan pidana itu berpotensi menimbulkan overkriminalisasi.
"Kedelapan RUU ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan reformasi hukum pidana dan hukum acara pidana yang sangat berhubungan dengan hak asasi warga negara Indonesia," ujar Supriyadi melalui siaran pers, Rabu (6/12/2017).
Kedelapan RUU tersebut adalah RUU tentang KUHP, RUU tentang KUHAP, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol/Minol, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Kemudian, RUU tentang Penyadapan, RUU tentang Narkotika dan Psikotropika, serta RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Supriyadi mengatakan, ICJR memiliki sejumlah catatan terkait delapan RUU tersebut.
Pembahasan RUU KUHP sudah memasuki tahapan akhir. Namun, sampai saat ini masih banyak potensi overkriminalisasi dari RKUHP.
Di samping itu, belum ada kesepakatan metode penentuan tinggi rendahnya ancaman pidana.
"ICJR berharap agar DPR dan pemerintah lebih jernih dalam melakukan pembahasan RUU KUHP untuk mempersempit potensi overkriminalisasi," kata Supriyadi.
Kedua, soal RUU tentang KUHAP, DPR dan Pemerintah harus memastikan bahwa KUHAP dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip fair trail dan HAM.
KUHAP juga tidak hanya menjamin hak tersangka dan terdakwa, namun juga harus bisa menjamin perlindungan bagi saksi dan korban.
ICJR merekomendasikan pengaturan yang lebih ketat terhadap upaya paksa, memperkuat sistem Peradilan Pidana yang terintegrasi, termasuk pengaturan yang meliputi jaminan efektifitas kuasa hukum, kualitas pembuktian, jaminan akses upaya hukum biasa dan luar biasa dan lain sebagainya.
Ketiga, ICJR meminta agar DPR dan pemerintah memprioritaskan pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Tentunya dengan memperhatikan ketentuan pidana yang dapat menjangkau kriminalisasi pelaku kekerasan seksual yang menutup celah di berbagai UU saat ini.
Supriyadi meminta agar pemerintah dan DPR fokus pada perlindungan dan pemenuhan hak korban seperti jaminan visum gratis, bantuan medis dan psikologis, sampai jaminan perlindungan dan hak adminstrasi lainnya harus dipenuhi dan disediakan.
Keempat, DPR harus segera mempublikasikan ruang lingkup ketentuan larangan dalam RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol/Minol.
Supriyadi mengatakan, pihaknya menduga ada overkriminalisasi dalam RUU ini.
"Kebijakan larangan minuman alkohol harus dikaji dengan hati-hati terutama dari sisi penerapan dan kebutuhannya, jangan sampai menimbulkan kehebohan yang tidak perlu dalam masyarakat," kata Supriyadi.
Kemudian, dalam RUU Terorisme, ICJR tetap mendorong dijaminnya prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dalam pemantauan ICJR, salah satu isu penting yang kurang mendapat perhatian adalah terkait perlindungan dan pemenuhan hak korban.
Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR didorong memperhatikan dengan serius hak korban yang merupakan orang-orang yang mendapatkan langsung dampak dari kejahatan terorisme.
Keenam, RUU tentang Penyadapan, harus ada satu aturan penyadapan yang dapat menjamin perlindungan bagi hak asasi manusia disamping mengatur penggunaannya bagi penegakan hukum.
Supriyadi meminta agar Pemerintah dan DPR mengacu pada putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU ITE terhadap UUD 1945 yang telah secara gamblang menyebutkan standar minimal pengaturan penyadapan.
Selanjutnya, ICJR meminta agar RUU Narkotika diletakkan pada pendekatan kesehatan masyarakat.
Pemerintah dan DPR harus memastikan dekriminalisasi bagi pengguna dan pecandu narkotika untuk menjamin terbukanya akses kesehatan.
Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan narkotika untuk kebutuhan teknologi, ilmu pengetahuan dan kesehatan.
Terakhir, RUU Pemasyarakatan harus bisa menuntaskan persoalan kelebihan beban lapas dan produksi pasal-pasal pidana yang mengandalkan pemenjaraan.
Ke depan, kata Supriyadi, perlu penguatan terkait konsep pembinaan di luar lapas yang belum terakomodasi dalam UU Pemasyarakatan tahun 1995.
Dari catatan tersebut, ICJR meminta pemerintah dan DPR memastikan adanya perlindungan HAM khususnya dalam hal penggunaan instrumen pidana serta pengaturan mengenai hukum acara pidana.
Semaksimal mungkin pemerintah harus menutup celah overkriminalisasi yang saat ini masuk dalam level menghawatirkan, pasal-pasal pidana karet dan tidak lagi layak diatur harus dihapus.
Misalnya, pasal penghinaan pada penguasa, presiden atau institusi negara, perluasan pidana zina, pidana minol sampai dengan pidana bagi pengguna dan pecandu narkotika.
Selain itu perlu juga memikirkan kebijakan alternatif pidana selain pidana penjara. Menekan jumlah ancaman pidana dan menggantinya ke pidana lain seperti denda, kerja sosial, pidana bersyarat dan beberapa alternatif lain bisa menjadi solusi.
"ICJR merekomendasikan agar pasal-pasal pidana yang bersifat karet tidak layak diatur," kata Supriyadi.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan penguatan perlindungan korban dalam beberapa tindak pidana seperti terorisme dan kekerasan seksual, korban harus menjadi kata kunci dalam semua pembahasan RUU.
Terakhir, ICJR mendorong agar DPR dan pemerintah memberikan perhatian dengan membuka akses-akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas kedelapan RUU tersebut.
Termasuk mempublikasikan segera rancangan-rancangan kepada publik, akses informasi, hearing yang lebih luas dan beragam kepada masyarakat Indonesia.
"DPR harus dipuji dalam pembahasan RKUHP, tapi akses tertutup pada rapat-rapat di luar DPR serta rapat rapat awal rancangan di Pemerintah dan minimnya berkas-berkas rancangan dan pembahasan masih dirasakan," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.