Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menangis di Sidang, Asma Dewi Bingung dengan Kasusnya

Kompas.com - 30/11/2017, 20:16 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa kasus ujaran kebencian terkait SARA, Asma Dewi menyatakan bingung dengan kasus yang menerpa dirinya. Hal tersebut disampaikan Dewi saat membacakan eksepsi atau nota keberatan menanggapi dakwaan jaksa penutut umum.

Dewi sesekali menangis saat membacakan eksepsinya.

"Sebenarnya saya bingung dengan kasus saya," kata Dewi, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2017).

Dewi menceritakan kembali bagaimana penangkapan polisi terhadap dirinya pada 8 September 2017 lalu. Menurut Dewi, dia didatangi 15 petugas polisi yang mengaku dari Bareskrim. Belasan petugas itu disebut masuk dengan cara melompat pagar.

"Mereka lompat pagar dengan alasan takut saya melarikan diri dan menghilangkan barang bukti," ujar Dewi.

Dewi bingung karena saat itu dia belum tahu apa yang membuat dia ditangkap, termasuk menghilangkan barang bukti apa.

Sidang perdana terdakwa ujaran kebencian terkait SARA, Asma Dewi dengan agenda pembacaan dakwaan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2017).Kompas.com/Robertus Belarminus Sidang perdana terdakwa ujaran kebencian terkait SARA, Asma Dewi dengan agenda pembacaan dakwaan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2017).

Petugas, kata Dewi, sempat mau membawanya secara paksa. Dewi menolak karena petugas datang tanpa surat perintah penangkapan atas nama dirinya.

Ketika kakaknya pulang, Dewi akhirnya bersedia dibawa petugas. Sesampainya di Cyber Crime Bareskrim Polri, Dewi menyatakan dia ditangkap terkait unggahannya di Facebook tahun 2016.

Dewi lalu menjelaskan terkait pernyataan-pernyatannya di Facebook. Misalnya saat dia menanggapi berita salah satu media massa yang terdapat di Facebook.

Baca juga : Bantah soal Ujaran Kebencian, Pengacara Jelaskan Aktivitas Asma Dewi

Berita itu disebutnya soal Malaysia yang mewajibkan siswanya belajar bahasa Sansekerta. Dewi mengaku mengomentari berita di Facebook itu dengan menulis, "Kenapa di sini harus belajar bahasa China".

Dia menulisnya dengan emoji tertawa.

"Menurut saya itu bertanya sambil bercanda, bukan hate speech. Maaf kalau saya salah, karena saya tidak tahu batasan kritik dan hate speech," ujar Dewi.

Postingan lain soal dirinya yang mengomentari harga daging mahal. Dia menulis komentar "rezim koplak" terkait berita ada menteri yang menyuruh rakyat makan jeroan, kalau rakyat tidak sanggup beli daging.

Dia menganggap itu ungkapan kekecewan, karena pemerintah dinilai tidak memberikan solusi.

"Dan saya ingat Pak Jokowi pernah mengatakan siap dikritik sekeras apapun," ujar Dewi.

Baca juga : Siapa Asma Dewi, Ibu Rumah Tangga yang Transfer Rp 75 Juta ke Saracen?

Dia juga bingung polisi mengatakan di media bahwa dirinya adalah bendahara Saracen. Di jejaring sosial Youtube, dia juga dituduh hendak mengepung Borobudur, dan dituduh mentrasfer Rp 75 juta ke Saracen untuk ujaran kebencian.

Ia juga mengklaim, selama ditahan, penyidik mengawasi soal kunjungan terhadapnya dari pihak luar.

"Saya dianggap berbahaya bisa memecah belah bangsa, memangnya Asma Dewi ini siapa, sehingga begitu ditakuti dan harus diawasi seolah-olah saya teroris kelas kakap, sedangkan Ali Imron saja teroris bom Bali bebas dibesuk," ujar Dewi.

Dewi menyatakan kesedihannya karena merasa difitnah polisi lewat media. Dia akhir menyampaikan eksepsinya, Dewi memita hakim memahami, mengampuni dan membebaskan dia dari tuduhan.

Halaman:


Terkini Lainnya

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com