Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan, Menghidupkan Keberagaman...

Kompas.com - 29/11/2017, 06:04 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Carles Butar Butar (17 tahun) bercita-cita menjadi seorang polisi setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan di Balige, Sumatera Utara.

Tekadnya yang kuat membuat Carles berusaha keras mewujudkan angannya itu.

Kata guru di sekolahnya, nilai seluruh mata pelajaran Carles tidak buruk. Badannya yang tegap dan kebiasaan berdisiplin di rumah maupun sekolah bisa menjadi modal Carles untuk mengikuti jejak sang kakek yang berprofesi sebagai polisi.

Namun, ada satu hal yang dapat menggagalkan langkah remaja Batak itu meraih cita-citanya, yakni status Carles sebagai penganut Ugamo Malim atau seorang Parmalim.

Kisah Carles dalam film dokumenter "Ahu Parmalim" karya Cicilia Maharani dari Yayasan Kampung Halaman, mungkin juga dialami oleh ribuan remaja penghayat kepercayaan di Indonesia.

Baca juga: Sebetulnya, Berapa Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?

Bertahun-tahun berjuang untuk diakui sebagai warga negara, akhirnya membuahkan hasil setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 terkait ketentuan pengisian kolom agama di Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga bagi warga penghayat kepercayaan.

Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti dalam sebuah acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2017).
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

Sebelumnya, kolom agama pada KTP dan KK warga penghayat kepercayaan tidak diisi atau dikosongkan.

Perbedaan ketentuan pengisian kolom agama tersebut menimbulkan diskriminasi terhadap warga penghayat dalam memenuhi hak dasar sebagai warga negara, salah satunya dalam mendapatkan pekerjaan.

Tidak sedikit warga penghayat yang tidak bisa mendaftar sebagai PNS dan anggota TNI-Polri karena kosongnya kolom agama di KTP mereka.

Atau, alasan lain, kepercayaan yang mereka anut tidak termasuk dalam enam agama yang diakui oleh negara.

Baca juga: Pekerjaan Rumah Menanti setelah Pengakuan pada Penghayat Kepercayaan

Oleh karena itu, MK memutuskan kata "agama" dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Akademisi Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menegaskan, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka negara harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga penghayat kepercayaan.

Pasalnya, implementasi putusan MK di tingkat daerah belum tentu sama dengan di tingkat pusat.

"Yang paling penting adalah tindak lanjut dari putusan MK itu. Seringkali pembuat regulasi membuat peraturan yang bertentangan dengan putusan MK," ujar Bivitri dalam sebuah diskusi bertajuk 'Putusan MK Tentang Penghayat, Babak Baru Toleransi', di Lounge STHI Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2017).

Halaman:


Terkini Lainnya

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com