JAKARTA, KOMPAS.com - Setya Novanto resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Situasi tersebut membuat Novanto otomatis tak bisa menjalankan tugasnya sebagai Ketua DPR.
Sejumlah partai mendorong agar posisi tersebut segera diisi oleh orang baru. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, misalnya, mengatakan akan berkonsultasi dengan pimpinan Fraksi PAN di DPR untuk membicarakan hal tersebut.
Eddy menilai perlu ada langkah yang diambil untuk mengembalikan marwah dan kredibilitas DPR.
Menurutnya, DPR perlu dipimpin oleh sosok yang berintegritas, memiliki rekam jejak baik serta berkomitmen penuh dalam pemberantasan korupsi.
"Secepatnya DPP PAN akan berkonsultasi dengan Fraksi PAN untuk mengembalikan kehormatan DPR, khususnya kursi pimpinan yang vakum pasca penahanan Ketua DPR," kata Eddy melalui keterangan tertulis, Senin (20/11/2017).
(Baca juga : Alasan Setya Novanto Usulkan Idrus Marham Jabat Plt Ketum Golkar)
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond J Mahesa menilai Novanto seharusnya bersedia menanggalkan kepentingan pribadinya untuk mempertahankan jabatan Ketua DPR RI.
Menurutnya, dibutuhkan kesadaran agar citra DPR tak terus-menerus rusak.
"Nah kami tuntut adalah kesadaran Pak Nov bahwa apakah beliau mencintai kelembagaan atau kepentingan pribadi" kata Desmond.
Adapun Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ida Fauziah menilai status Novanto saat ini berpengaruh terhadap citra DPR.
Meski kerja pimpinan DPR kolektif kolegial dan bisa terus berjalan, namun ia berharap ada proses pergantian Ketua DPR sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Iya (segera pergantian) saya kira sesuai dengan mekanisme kita," tuturnya.
Masyarakat harapkan segera pengganti Novanto
Harapan perlu adanya sosok Ketua DPR baru menggantikan Novanto juga diungkapkan oleh masyarakat.
Antonius (35) mengapresiasi KPK yang sudah menunjukkan bahwa lembaganya bisa bertindak tegas terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi, termasuk Ketua DPR. Ia berharap Novanto mendengarkan tuntutan publik dan bersedia meletakkan jabatannya.
Jika tidak, maka Golkar sebagai partai asal Novanto atau Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diminta untuk segera bergerak.
Baca juga : Pimpinan Baru Golkar Berganti, Calon Kepala Daerah Diharapkan Tetap
"Berhentikan Novanto karena tindakannya lari dari hukum sudah melanggar kode etik DPR. Jadi jangan terus-menerus bersikap diam," kata Antonius.
Warga lainnya, Intan (24) menganggap kasus yang menyeret nama Novanto itu semakin mencoreng nama lembaga DPR yang sebelumnya sudah dinilai buruk oleh masyarakat. Ia juga menyayangkan sikap Novanto yang penuh drama dalam menjalani proses hukumnya.
Intan berharap, Golkar bisa segera mengganti Novanto.
"(Sosok) jangan yang korupsi. Kalau bisa yang bersih," tuturnya.
(Baca juga : Nilai Aset Properti Setya Novanto Naik Berkali-kali Lipat)
Di samping itu, warga lainnya, Ulum (32) menilai Novanto sebaiknya segera mengundurkan diri agar pergantian Ketua DPR bisa secepatnya diproses. Hal itu juga agar Novanto bisa lebih fokus menjalani proses hukum yang dihadapinya.
Menurutnya, Golkar harus bisa menunjuk kader terbaiknya untuk menggantikan Novanto.
"Mungkin sulit mencari sosok yang betul-betul bersih. Minimal sosok itu punya integritas, profesional, mau melakukan reformasi di tubuh DPR," kata Ulum.
MKD dan Golkar bergerak
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan berkonsultasi dengan para pimpinan fraksi di DPR untuk membahas soal status Novanto tersebut.
Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad menuturkan, perlu ada penyamaan persepsi antar-fraksi di DPR. Sebab, kasus tersebut berdampak pula pada marwah dan citra lembaga DPR.
"Supaya enak kami akan adakan rapat konsultasi bersama seluruh fraksi yang ada di DPR pada besok siang," kata Dasco.
Adapun Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding menuturkan, status Novanto yang menjadi tahanan KPK sesuai dengan aturan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Salah satunya adalah Pasal 87 ayat (2) yang menyatakan bahwa pimpinan DPR diberhentikan apabila tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama tiga bulan berturut-turut.
(Baca juga : Periksa Istri Novanto, Apa yang Ditelusuri Penyidik KPK?)
"Dalam konteks ini bahwa ketika yang bersangkutan ditahan sebagai Ketua DPR, saya kita memang tidak bisa lagi melaksanakan tugas-tugas sebagau ketua dan saya kira ini juga menyangkut masalah marwah dewan ya sesuai yang diamanatkan dalam tatib dan hukum acara MKD," ujarnya.
Partai Golkar juga segera merespons kekosongan kekuasaan tersebut. Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid menuturkan, pada rapat pleno Selasa (21/11/2017) pihaknya juga akan sekaligus membicarakan soal pergantian Ketua DPR.
"Besok kami sudah putuskan nama baru untuk Ketua DPR," ujar Nurdin.
Tak menghormati DPR
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai, sikap Novanto dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan ke pada publik soal ketidakpatuhannya terhadap hukum.
Misalnya dengan menghilang saat penyidik KPK mendatangi kediamannya hingga ditemukan setelah mengalami kecelakaan.
(Baca juga : Sebelum Ditahan KPK, Setya Novanto Usulkan Idrus Jabat Plt Ketum)
MKD DPR menurutnya harus bisa melampaui apa yang diatur UU dengan menjadikan etika dan norma sebagai acuan untuk menilai aksi Novanto yang dianggap menciderai kehormatan parmemen.
"Jika publik sudah menilai Setnov tidak menghormati lembaga, maka itu seharusnya menjadi alasan bagi DPR umumnya dan MKD khususnya untuk segera merespons," ujar Lucius.
Dengan memproses Novanto secara etis, Lucius menilai DPR setidaknya bisa menumbuhkan kembali kepercayaan terhadap rakyat jelang pemilu 2019.
(Baca juga : Kuasa Hukum: Setya Novanto Masih Agak Linglung)
"Jika mereka diam terhadap perilaku yang mencoreng, artinya mereka memang mungkin tak pantas lagi untuk dipilih kembali pada 2019 mendatang. Mereka juga akan dianggap sebagai perusak martabat parlemen jika mereka mendiamkan sesuatu yang menampar kehormatan mereka," kata dia.
Diketahui, status Novanto telah menjadi tahanan KPK selama 20 hari ke depan terhitung sejak 19 November 2017.
Adapun KPK memburu Novanto setelah yang bersangkutan berkali-kali tak memenuhi panggilan KPK, baik sebagai saksi maupun tersangka kasus korupsi proyek e-KTP.
Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.