Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beragama Itu Menyejukkan, Mendamaikan dan Membela Kemanusiaan...

Kompas.com - 19/10/2017, 11:09 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Direktur Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq meluncurkan buku terbarunya berjudul "Membela Islam, Membela Kemanusiaan" pada Rabu (18/10/2017) malam.

Hadir sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang saat acara peluncuran buku di Auditorium Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta Pusat.

Dari pengusaha, politisi, aktivis hingga tokoh lintas agama.

Acara diawali pemberian testimoni oleh beberapa tokoh mengenain isi buku.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengungkapkan kekhawatirannya mengenai situasi beragama di Indonesia saat ini.

Dia memandang umat beragama dewasa ini seringkali membaca agama secara tekstual tanpa memperhatikan konteks kekinian.

Akibatnya, tercipta jarak yang membuat umat beragama sulit berkomunikasi.

Hal itu, menurut Gomar, menghilangkan peran agama untuk memanusiakan manusia.

"Seringkali agama-agama itu dibaca secara tekstual. Akibatnya ada jarak antar-umat beragama, sulit berkomunikasi. Pendekatan secara konteks itu yang ingin dibuat oleh Fajar. Agama datang untuk memanusiakan manusia," ujar Gomar.

Sementara itu, rohaniawan Katolik Franz Magnis Suseno menilai, agama masih sangat dibutuhkan untuk menciptakan kedamaian dan rekonsiliasi konflik di tengah masyarakat.

Meski tak dipungkiri, muncul banyak anggapan bahwa agama menjadi salah satu sumber dari kekacauan.

"Di tengah-tengah pandangan bahwa agama menciptakan kekacauan, masih banyak bukti bahwa agama itu menyejukkan, mendamaikan konflik dan menciptakan rekonsiliasi," ucap Franz.

Sebagai penutup, tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Maarif memberikan pandangannya soal praktik beragama, khususnya oleh umat Islam.

Menurut Buya, masih banyak orang yang tidak melihat inti dari ajaran Islam itu sendiri, yakni kemanusiaan.

"Orang sering tidak melihat Islam pada intinya, yaitu kemanusiaan. Beragama secara tulus dan otentik, ini yang kurang. Bicara dari hati ke hati antar-umat beragama," ucap Buya.

Buya menuturkan, semestinya agama Islam dijalankan satu napas dengan kemanusiaan. Hal itu sering tidak dipahami oleh banyak orang.

Tidak heran, kata Buya, jika saat ini muncul kelompok-kelompok radikal yang merasa dirinya paling benar di antara kelompok lain.

"Islam itu semestinya satu napas dengan kemanusiaan dan ini tidak dipahami oleh kelompok-kelompok yang mengaku dirinya paling benar, yang radikal. Tapi saya katakan mereka itu ibarat sarang yang diletakkan di dahan rapuh. Tidak akan bertahan lama," kata Buya.

Membela Kemanusiaan

Saat ditemui usai acara, Fajar mengungkapkan bahwa penerbitan bukunya tersebut berangkat dari keprihatinan istilah "Aksi Bela Islam" yang mendadak populer di panggung politik dan gerakan keagamaan kontemporer.

Istilah tersebut, kata Fajar, menjadi mantra ampuh untuk memobilisasi dukungan umat Islam dalam merespons isu-isu sosial dan politik aktual yang dianggap berkaitan dengan nasib dan kepentingan umat Islam.

Padahal, menurut dia, pembelaan terhadap Islam hendaknya selaras dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang universal.

“Pembelaan terhadap agama Islam hendaklah berpijak pada kepentingan menjaga hak-hak umat Islam yang selaras dengan bangunan politik kebangsaan yang inklusif dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal,” ujar alumni Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shabran itu.

Fajar menuturkan, saat ini masyarakat tengah terseret oleh arus polarisasi yang tajam sehingga memerlukan kearifan semua pihak agar integrasi bangsa tidak tergerus.

Dia berharap para elite politik dan tokoh agama tidak melontarkan pernyataan yang memicu sentimen sektarian maupun rasial.

"Semangat membela Islam di Republik ini menjadi bagian dari ruh membela tanah air, perekat solidaritas kebangsaan," tuturnya.

"Mempertentangkan komitmen keislaman dengan solidaritas kebangsaan bahkan kemanusiaan bukanlah jalan luhur yang telah disepakati para pendiri bangsa,” kata Fajar.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz.

Menurut dia, esensi kehadiran agama berupaya mendorong agar manusia menciptakan kedamaian, keadilan dan kerukunan.

Orang seringkali lupa bahwa beragama juga harus menghadirkan prinsip-prinsip kemanusiaan.

"Jadi selama ini orang berpikir beragama itu harus selalu ber-Tuhan tapi melupakan esensinya sebagai manusia. Esensi sebagai manusia itu kan membumikan kedamaian, membumikan keadilan, kerukunan. Itu yang seharusnya menjadi esensi bagaimana kita memeluk agama," ujar Darraz.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com