Supremasi sipil
Rentetan kegaduhan politik nasional yang menyeret TNI dalam pusaran politik, kata Puri, tidak lepas dari lemahnya peran sipil, yakni Presiden dan DPR, dalam mengawasi institusi militer.
Menurut Puri, Komisi I DPR RI tidak pernah menerapkan sistem koreksi dan evaluasi yang baik terhadap TNI. Di sisi lain, Presiden Joko Widodo belum berhasil menegakkan supremasi sipil atas militer.
"Supremasi sipil kita gagal dalam mengontrol supremasi militer," ujar Puri.
Pemerintah, lanjut Puri, harus menunjukkan bahwa kepemimpinan sipil yang utuh hadir sebagai pemimpin aktor keamanan dan pertahanan negara. Kontrol sipil menjadi salah satu bagian yang penting guna mengawal TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional.
"Hal ini sejalan dengan teori kontrol sipil obyektif yang diajukan oleh Samuel P Huntington. Menurut teori itu, cara paling optimal dalam menegaskan kontrol terhadap angkatan bersenjata adalah dengan memprofesionalkan mereka," ucap Puri.
“Dalam kontrol obyektif oleh sipil, profesionalisme militer dapat berkembang karena militer dipisahkan jauh dari gelanggang politik," kata dia.
Salah satu kontrol sipil yang bisa dilakukan, menurut Puri, adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Puri mengatakan, kontrol sipil melalui penggunaan peradilan pidana umum perlu dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap tindakan kriminal yang dilakukan oleh unsur aparat TNI.
"Artinya, harus ada perubahan signifikan dalam mereformasi tubuh kelembagaan TNI," kata dia.
(Baca juga: Pelibatan Militer untuk Berantas Teroris Tak Sesuai Prinsip Supremasi Sipil)
Berdasarkan catatan Kontras, sepanjang 2016 hingga 2017, misalnya, terjadi 138 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI. Akibatnya 15 orang tewas, 124 orang luka-luka, 63 orang sempat mengalami penangkapan sewenang-wenang dan 61 orang lainnya mengalami kerugian lain.
Penganiayaan warga sipil menjadi bentuk pelanggaran paling sering terjadi dengan 65 peristiwa, diikuti dengan intimidasi dan ancaman dengan 38 peristiwa dan berbagai bentuk keterlibatan tentara dalam arena bisnis dengan jumlah 42 kasus dan peristiwa sepanjang periode tersebut.
Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur adalah tiga provinsi terdepan yang mencatat praktik kekerasan masih dilakukan oleh aparat TNI.
Dalam sisa masa jabatannya sebelum pensiun pada Maret 2018, Panglima Gatot memiliki waktu enam bulan untuk fokus pada agenda peningkatan profesionalitas prajurit sesuai dengan amanat Buku Putih Pertahanan.
Gatot juga diharapkan mampu melakukan inovasi dan bersinergi dengan Kementerian Pertahanan, terutama dalam menjaga perdamaian dunia.
Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia!