Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ika Krismantari

Ibu dari Senyum Pagi dan Nyala Cakrawala, penulis yang tinggal di kampung pinggiran Jakarta. Redaktur Pelaksana Ingat65.

Belajar Mencerap Film G30S/PKI ala Generasi Milenial

Kompas.com - 02/10/2017, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

SAYA adalah salah satu dari sekian generasi 1980-an yang menonton film Pemberontakan G30S/PKI. Saya ingat waktu itu nonton pertama kali – dan yang terakhir kalinya – ketika saya kelas 3 SD.

Saya menonton bukan karena disuruh atau dipaksa guru di sekolah tapi murni karena penasaran. Saya bela-belain tidak tidur demi menonton film yang durasinya lebih dari tiga jam itu. Hasilnya: saya kapok.

Saya tidak bisa tidur tiga hari tiga malam karena adegan-adegan berdarah-darah yang kerap muncul di sana terus berulang-ulang di kepala saya. Adegan anak jenderal yang mandi darah lalu penyiletan Jendral-Jendral yang masih hidup begitu membekas di kepala saya dan berhasil mencuci otak kepala saya.

Setelah menonton film itu, saya yakin PKI itu jahat dan Soeharto adalah dewa penolong rakyat Indonesia.

Delapan tahun kemudian keyakinan itu rontok. Saya adalah sekian dari generasi milenial – generasi yang lahir di antara tahun 1980-an awal dan akhir 1990-an akhir – yang tercerahkan.

Kebebasan mendapatkan informasi yang didapat setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan juga akses internet memperkarya pemahaman saya tentang peristiwa 1965.

Dari banyak baca dan menonton, saya tahu bahwa film yang selama ini menjadi satu-satunya petunjuk atas misteri 1965 hanya memberikan fakta yang sepotong-sepotong.

Baca juga: Ketua MPR: Nonton Film G30SPKI atau Tidak, Jaga Persatuan Kita

Film yang mengangkat cerita pembunuhan 6 jenderal dan seorang perwira oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak menyebutkan bahwa setelah kejadian itu, setidaknya ratusan ribu jiwa melayang dan banyak lainnya diasingkan, ditahan tanpa pengadilan, dan menderita perlakuan diskriminasi bertahun-tahun karena dianggap terlibat dengan PKI.

Potongan-potongan informasi saya dapat dari film-film dokumenter (mulai dari Mass Grave karya Lexy Rambadetta sampai Jagal dan Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer) lalu banyak bacaan banyak yang fiksi maupun non-fiksi.

Tidak hanya itu, dari media massa, saya tahu bahwa belum ada pelaku yang ditangkap dan dihukum terkait pembunuhan, penyiksaan, dan perbuatan sewenang-wenang terhadap pihak-pihak yang dituduh PKI. Saat ini proses rehabilitasi dan rekonsiliasi yang sedang diperjuangkan oleh para aktivis sedang macet karena kurangnya kekuatan politik dari pemerintah.

Perlahan-lahan, semua yang ada dalam film G30S/PKI tidak lagi relevan untuk cukup menjelaskan peristiwa 1965 bagi generasi milenial di tengah derasnya arus informasi.

Oleh karena itu, ketika Panglima TNI Gatot Nurmantyo memerintahkan penyelenggaraan nonton bareng film G30S/PKI bagi generasi muda untuk belajar sejarah tentang bahaya komunisme, saya terheran-heran. Apalagi setelah film ini sudah dilarang oleh pemerintah untuk ditayangkan di publik di tahun 1998 karena dianggap mengultuskan Soeharto dan rezim Orde Baru.

Jika memang maksudnya ingin membangkitkan narasi tunggal yang dulu pernah jaya, apa Panglima TNI segitu enggak gaulnya sampai dia tidak tahu bahwa narasi sejarah yang dia maksud itu sudah ketinggalan zaman di kalangan anak milenial?

Karena menurut saya, sebelum disuruh nonton film ini, generasi milenial sudah mendapatkan banyak informasi dari berbagai sumber tentang peristiwa 1965.

Banyak dari kami mungkin bahkan belum nonton film tersebut, tapi sudah beberapa kali melihat Jagal atau Senyap dan lewat pengalaman menonton yang kaya ini mudah bagi generasi muda untuk mencium kebohongan di narasi tunggal di film tersebut. Apakah ini tidak menjadi senjata makan tuan buat Sang Panglima?

Dalam studi khalayak, generasi milenial ini dikategorikan sebagai penonton yang aktif yang bisa memaknai pesan dari media secara bebas sesuai dengan latar belakang pengetahuan, politik, sosial, dan ekonominya.

Konsep penonton yang aktif dicetuskan pertama kali oleh Stuart Hall sebagai antitesa dari teori jarum suntik yang sebaliknya percaya bahwa penonton selalu pasif dan mengiyakan pesan yang disampaikan media.

Teori jarum suntik sempat ngetop di era propaganda tahun 1940-an. Di era internet dan keterbukaan informasi seperti sekarang ini, sepertinya susah memahami bahwa penonton adalah jiwa-jiwa yang pasif yang hanya mengiyakan pemberi pesan.

Berangkat dengan asumsi bahwa generasi muda sekarang adalah penonton yang pintar, seharusnya kita tidak usah terlalu takut. Banyak aktivis menolak pemutaran film itu karena takut bakal menimbulkan trauma dan menghambat proses rehabilitasi dan rekonsiliasi yang diperjuangkan buat korban 1965.

Justru saya melihat dengan kacamata yang berbeda. Saya melihat bahwa menonton film ini bisa menjadi cara lain untuk menjalankan kembali upaya penyelesaian peristiwa 1965 yang selama ini macet.

Caranya tentu dengan melibatkan generasi masa depan bangsa ini untuk mempelajari peristiwa 1965 secara utuh. Tidak hanya dari film-film Jagal, Senyap, ataupun buku-buku dari John Roosa dan Robert Cribb, tapi juga dari fakta bahwa peristiwa 1965 pernah dibelokkan oleh penguasa untuk menguntungkan mereka.

Jika Panglima Gatot menginginkan generasi muda untuk belajar sejarah dengan nonton film tersebut, maka tentu kita akan belajar yang sayangnya bukan tentang versi sejarah yang dia harapkan.

Pembacaan peristiwa 1965 oleh generasi milenial sangatlah beragam. Platform digital Ingat65 mendokumentasikan keberagaman pemahaman generasi muda atas peristiwa 1965 lewat laman kami di https://medium.com/ingat-65.

Kami menerima segala macam tulisan dari generasi muda yang membagi pemahaman mereka yang berwarna-warni atas peristiwa 1965 yang masih misteri untuk membantu proses rehabilitasi dan rekonsiliasi dan penyelesaian kasus-kasus 1965.

 

Baca juga: Jokowi Ingin Ada Film G30SPKI Versi Kekinian

Meski perspektif yang dipakai setiap penulis berbeda sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka, ada satu kesamaan di antara mereka, yaitu rata-rata kebanyakan dari mereka semua menyebut film G30S/PKI sebagai rujukan awal pemahaman mereka atas peristiwa 1965. Meski berawal dari film yang sama, pemahaman setiap penulis atas peristiwa 1965 berbeda satu dengan lainnya.

Belajar dari pola pemahaman anak muda mengenai peristiwa 1965 di Ingat65, saya mengharapkan respons yang sama datang dari generasi milenial ketika menonton film ini.

Baik buat yang menonton yang pertama kali atau kesekian kali, biarlah film ini membuka sebuah kesempatan bagi generasi muda untuk tidak hanya mengetahui peristiwa 1965 dan misterinya tapi juga membongkarnya dengan narasi-narasi tandingan yang kita buat.

Mengenai ide dari Presiden Jokowi untuk membuat versi terbaru film G30S/PKI yang sesuai dengan milenial, tentu saja kita harus menyambutnya dengan gembira. Siapapun pembuat filmnya diharapkan tahu benar siapa calon penontonnya, yaitu generasi kritis dengan akses tanpa batas ke segala jenis informasi dan bukan anak kelas 3 SD yang tidak tahu apa-apa dan mudah percaya dengan apa yang ditontonnya.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

21 Persen Jemaah Haji Indonesia Berusia 65 Tahun ke Atas, Kemenag Siapkan Pendamping Khusus

21 Persen Jemaah Haji Indonesia Berusia 65 Tahun ke Atas, Kemenag Siapkan Pendamping Khusus

Nasional
Jokowi Sebut Impor Beras Tak Sampai 5 Persen dari Kebutuhan

Jokowi Sebut Impor Beras Tak Sampai 5 Persen dari Kebutuhan

Nasional
Megawati Cermati 'Presidential Club' yang Digagas Prabowo

Megawati Cermati "Presidential Club" yang Digagas Prabowo

Nasional
Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK, Diduga Sewa Pengacara Sengketa Pileg untuk Lawan MK di PTUN

Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK, Diduga Sewa Pengacara Sengketa Pileg untuk Lawan MK di PTUN

Nasional
Pascaerupsi Gunung Ruang, BPPSDM KP Lakukan “Trauma Healing” bagi Warga Terdampak

Pascaerupsi Gunung Ruang, BPPSDM KP Lakukan “Trauma Healing” bagi Warga Terdampak

Nasional
Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Nasional
Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Nasional
Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Nasional
Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Nasional
Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Nasional
Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Nasional
Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Nasional
KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com