JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah mengungkapkan beban berat yang ditanggung oleh lembaganya dalam menangani perkara-perkara peradilan.
Misalnya, para hakim agung sejak pagi buta sampai larut malam harus mencurahkan waktu dan konsentrasinya untuk berurusan dengan berkas-berkas perkara.
"Konsentrasinya hakim agung hanya berkas dan berkas. Mulai dari pagi sampai malam. Bangun jam 03.00 WIB langsung berurusan dengan berkas. Kita masih enak-enak tidur," kata Abdullah di gedung MK, Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Setiap hari, para hakim agung melakukan aktivitas yang sama setiap waktunya. Sebab, kata Abdullah, para hakim agung punya target dalam memutus suatu perkara.
(Baca: Ini Jurus Mahkamah Agung Tingkatkan Integritas Pegawainya)
"Tiap hari ditarget 1-3 berkas dibaca dan diputus. Ini beratnya hakim agung, sementara pihak eksternal berlomba-lomba menjadi hakim agung," kata dia.
"Kalau tahu beban kerjanya ini, yah Masya Allah bagaimana membaca puluhan ribu halaman dalam waktu yang tidak lama," tambah dia.
Saat ini, kata Abdullah, jumlah hakim agung sebanyak 44 orang harus menanggung beban perkara sebanyak 13.203 perkara. Padahal, idealnya jumlah hakim agung harus sebanyak 60 orang.
"Harusnya hakim agung 60 orang. Nanti disebar (penempatannya) sesuai perkara. Sekarang ada penambahan tapi menunggu dilantik. Kalau memang terpenuhi 60 hakim agung, perkara bisa selesai degan cepat," kata dia.
(Baca: Komisi III Loloskan Seluruh Calon Hakim Agung)
Karenanya, kata Abdullah, penuntasan perkara di MA dianggap publik cenderung lebih lama dibandingkan dengan proses yang sama di Mahkamah Konstitusi.
"Kenapa MA lebih lamban dibandingkan MK. Jumlah perkaranya maksimal 200 dalam setahun, sementara MA puluhan ribu. Ini tdak bisa disandingkan begitu saja," katanya.
"Kami tidak membanding-bandingkan karena tidak etis. Karena kewenangannya masing-masing. Kami hanya menyampaikan kewenangan MA saja," kata dia.
Abdullah menambahkan, setiap perkara yang diproses di lembaganya maksimal punya waktu untuk diputus sampai dengan 250 hari lamanya.
"Targetnya 250 hari maksimal. Seperti perkara di Medan itu cuma 1-2 bulan. Kalau lewat 250 hari harus melapor ke ketua MA kesulitannya apa. Nanti akan dibahas di rapat pleno," kata dia.