JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto meminta agar film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) tidak lagi diputarkan di Indonesia.
Selain itu, dia juga meminta seminar mengenai sejarah 1965/1966 yang digelar sejumlah aktivis dalam memperingati peristiwa 30 September 1965 tidak dilakukan.
Sidarto menganggap penayangan film dan digelarnya seminar dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
"Saya pikir untuk sementara dihentikan dulu film dan seminar ini," ujar Sidarto di kantor Wantimpres, Jakarta, Senin (18/9/2017).
"Kalau ada film, seminar, ada satu kegaduhan di sana. Itu hal yang tidak menunjang kondisi bangsa," kata dia.
(Baca juga: LBH Jakarta Sebut Pembubaran Seminar Sejarah 1965 Wujud Darurat Demokrasi)
Kegaduhan tersebut antara lain terjadi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.
Awalnya, ada upaya pelarangan oleh polisi dan masyarakat mengenai seminar sejarah 65 dengan tema "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66" di Gedung YLBHI pada Sabtu (16/9/2017).
Massa kemudian menentang kegiatan tersebut karena dianggap berhubungan dengan PKI.
Kemudian, pada Minggu (17/9/2017), masyarakat kembali menggelar aksi di depan kantor YLBHI. Kali ini lebih besar dan disertai aksi anarkistis berupa pelemparan batu dan botol.
Bahkan sempat terjadi bentrok antara massa dengan polisi. Akhirnya massa aksi dibubarkan dengan semprotan water cannon dan tembakan gas air mata.
(Baca juga: Kronologi Pengepungan Kantor YLBHI)
Kondisi seperti itu, kata Sidarto, tak semestinya terjadi saat ini di Indonesia. Hal tersebut akan berdampak buruk bagi stabilitas bangsa.
"Perlu ada kesabaran konstitusional. Kalau ada yang seperti itu malah bikin keresahan sosial," kata ajudan terakhir Presiden Soekarno itu.
Menurut Sidarto, masih banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan saat ini. Pemerintah, kata dia, tengah sibuk membangun ekonomi, kesejahteraan sosial, dan mengentaskan kemiskinan. Hal itu, menjadi fokus prioritas pemerintah.
"Untuk menuju kekuatan ekonomi, perlu adanya suatu kestabilan politik," kata Sidarto.