JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekretaris Jenderal PP GP Ansor, Mahmud Syaltout menyatakan, konflik yang dialami etnis Rohingya di Myanmar merupakan tragedi kemanusiaan terparah di Asia Tenggara.
"GP Ansor menilai bahwa ini merupakan tragedi kemanusiaan terparah di kawasan Asia Tenggara saat ini," kata Mahmud, melalui keterangan tertulis, Jumat (1/9/2017).
GP Ansor, lanjut Mahmud, menduga tindak kekerasan inii dilakukan tangan negara, baik aparat militer, keamanan, kepolisian maupun pemerintah Myanmar.
Dugaan itu, menurut dia, didasarkan pada laporan penginderaan satelit UNOSAT maupun HRW.
Baca: PBB: Sudah 27.000 Warga Muslim Rohingya Lari dari Myanmar
Dalam citra satelit itu terlihat pola-pola serangan terhadap sejumlah desa etnis Rohingya yang memang telah ditargetkan.
GP Ansor menyatakan telah membaca dengan seksama laporan UN Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) 2017 maupun laporan-laporan lembaga terpercaya lainnya.
Dari berbagai laporan tersebut tercatat setidaknya 60.000 orang warga etnis Rohingya yang merasa terancam memilih pergi dari daerah konflik.
Ribuan lebih korban disebut telah tewas dibunuh secara keji, ribuan orang pula telah dihilangkan secara paksa.
Sebanyak 64 persen etnis Rohingya melaporkan pernah mengalami penyiksaan fisik maupun mental.
Sementara 52 persen perempuan Rohingya melaporkan mengalami pemerkosaan dan atau pelecehan seksual lainnya.
"Ditambah lagi dengan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang sekaligus penyiksaan selama penahanan terhadap ribuan warga Rohingya, perusakan maupun penjarahan terhadap rumah, harta benda, makanan, dan sumber makanan warga Rohingya secara masif, serta pengabaian maupun ketiadaan perawatan kesehatan terhadap para korban," ujar Mahmud.
Baca: 6.000 Warga Rohingya Terdampar di Perbatasan Banglades
Atas semua fakta ini, GP Ansor menilai tragedi Rohingya merupakan konflik geopolitik, yakni masalah perebutan kekuasaan, dengan dugaan didasari pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas di wilayah itu.
GP Ansor mempelajari, fenomena seperti itu juga terjadi di daerah lain di dunia. Perebutan sumber daya itu kemudian ditutupi dengan konflik antaretnis, antaragama, dan antarkelompok masyarakat.