Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Kasus Yusman, Pemerintah Diminta Evaluasi Penerapan Hukuman Mati

Kompas.com - 22/08/2017, 13:34 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia.

Hal ini berkaca dari kasus mantan terpidana mati Yusman Telaumbanua, yang pernah menghadapi ancaman hukuman mati akibat rekayasa atau peradilan yang tidak adil.

"Saya pikir peristiwa Yusman menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan penegak hukum untuk mengkaji eksekusi mati di Indonesia," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia, dalam jumpa pers di kantor KontraS, Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).

Putri menceritakan, pada tahun 2013 majelis hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias menjatuhkan vonis mati terhadap Yusman dan kakak iparnya, Rasula Hia, pada kasus pembunuhan berencana terhadap tiga orang majikan mereka.

Namun, dalam proses penyidikan di kepolisian, hak Yusman yang menjadi tersangka saat itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya, Yusman dipaksa untuk menandatangi berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa tahu isinya.

(Baca: Jaksa Agung: Eksekusi Mati Masih Tunggu Waktu yang Tepat)

Ia juga disiksa oleh penyidik sampai tidak diberi bantuan penerjemah bahasa Nias. Yang bersangkutan saat itu juga tidak bisa bicara bahasa Indonesia dan menulis. Penyidik juga diduga merekayasa usia Yusman, yang saat proses pemeriksaan sebenarnya masih berusia 15-16 tahun.

Yusman saat diperiksa penyidik memang tidak memiliki dokumen-dokumen identitas, termasuk dari pihak keluarganya. Penyidik akhirnya memasukan usia Yusman menjadi usia dewasa.

Pada tahun 2014, fakta mengenai kasus yang menimpa Yusman diketahui KontraS.

KontraS kemudian menjadi kuasa hukum Yusman. KontraS mengajukan Peninjauan Kembali putusan mati Yusman ke Mahkamah Agung setelah memperoleh novum atau bukti baru terkait usia Yusman.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tulang dan gigi oleh Tim Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung, membuktikan usia Yusman ketika dilakukan pemeriksaan forensik pada 2016 yakni 18-19 tahun.

(Baca: Kejaksaan Agung Dinilai Langgar Putusan MK Terkait Eksekusi Mati Humprey Jefferson)

"Sehingga jika ditarik garis mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada tahun 2012, maka usia Yusman saat itu 15-16 tahun," kata Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS, Arif Nur Fikri.

Dalam PK, MA akhirnya membatalkan putusan mati untuk Yusman, menjadi vonis lima tahun penjara. Dan pada 17 Agustus 2017 tepat saat perayaan kemerdekaan Indonesia, Yusman akhirnya bebas setelah di penjara selama lima tahun.

"Pembatalan vonis mati oleh MA menjadi vonis lima tahun terhadap Yusman menguatkan fakta bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal," ujar Arif.

Pada kasus pembunuhan yang menyeret Yusman, KontraS menyatakan justru yang bersangkutan merupakan saksi kunci. Tetapi, di proses penyidikan, kesaksian Yusman tidak dipercayai penyidik.

"Memang kesalahannya dia (Yusman), dia tidak melaporkan peristiwa pembunuhan itu," ujar Arif.

 

(Baca: Usai Eksekusi Mati, Jasad Pemerkosa Bocah Digantung di Ujung Derek)

Namun, Yusmam disebut punya alasan mengapa tidak melapor. Arif menyatakan hal tersebut karena Yusman diancam oleh empat pelaku pembunuhan yang sebenarnya.

"Empat orang pelaku itu masih DPO sampai sekarang," ujar Arif.

Tak hanya melihat ketidakadilan di proses penyidikan, pihaknya juga melihat hakim tidak cerdas untuk menghadirkan saksi untuk membuktikan usia Yusman. Seharusnya, pihak tetangga, keluarga, dan gereja yang membaptis Yusman bisa dipanggil untuk menjadi saksi soal usia Yusman.

"Tetapi hakim malah memanggil penyidik," ujar Arif.

Arif tidak masalah jika kemudian kasus ini diusut ulang, untuk mengetahui apa sebenarnya peran Yusman termasuk kakak iparnya. Namun, asalkan penegak hukum menangkap empat orang yang diduga pelaku sebenarnya terlebih dulu.

"Kita enggak masalah ada proses penyidikan ulang. Untuk mengetahui peran Yusman dan Rasulah sebenarnya. Tapi 4 DPO itu harus ditangkap dulu," ujar Arif.

"Ini bukan hanya keadilan buat Yusman, tapi bagaimana saat peristiwa itu terjadi. Karena kita tahu dengan bebasnya Yusman, pihak keluarga korban enggak dapat rasa keadilan," ujar Arif lagi.

Adapun untuk kakak ipar Yusman, Rasula, saat ini masih mendekam di lapas Tangerang. KontraS sebelumnya belum dapat menjadi kuasa hukum Rasula. Hal tersebut karena diduga yang bersangkutan mengalami gangguan psikis karena proses hukum kasus ini.

Kompas TV Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat mengusulkan agar eksekusi mati terhadap terpidana narkoba berlangsung di Kalbar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com