JAKARTA, KOMPAS.com - Salah seorang warga Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Desi (28), hingga kini belum memperoleh kartu tanda penduduk (KTP) elektroniknya.
Padahal, sejak 2012 ia sudah melakukan perekaman data untuk membuat e-KTP.
Ia menduga, keyakinan yang dianutnya menjadi penghalang mendapatkan kartu identitas kependudukan.
Desi adalah salah seorang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Manislor.
Pemerintah daerah setempat diduga melakukan tindakan diskriminasi dengan tidak menerbitkan e-KTP pada penganut Ahmadiyah.
Salah satunya, aparat Disdukcapil Kabupaten Kuningan disebut memberi surat pernyataan khusus bagi penganut Ahmadiyah, yang intinya bertuliskan "Saya anggota JAI menyatakan penganut agama Islam. Sebagai buktinya, saya bersedia membaca dua kalimat Syahadat dan selanjutnya bersedia dibina".
Surat ini seolah jadi "persyaratan tambahan" bagi penganut Ahmadiyah setempat untuk mengurus e-KTP.
Penganut Ahmadiyah di sana juga tidak bisa melangsungkan pernikahan di Manislor.
Tahun 2015, Desi terpaksa menikah di daerah tetangga di Cirebon.
"Jadi mau nikah harus keluar kampung. Karena tidak diterima dan diproses di KUA," kata Desi, saat ditemui di kantor Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Direktorar Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta Selatan, Selasa (20/6/2017).
Pada hari ini, Desi bersama belasan perempuan asal Manislor didampingi pengacara mereka dari Yayasan Satu Keadilan menempuh perjalanan lima jam dari Kuningan ke Jakarta untuk mengadukan persoalan tersebut ke Kantor Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri.
Lika (26), jemaah Ahmadiyah lainnya punya pengalaman yang sama.
Pada 2016, ia membaca berita semua warga Kuningan bisa mengurus e-KTP pada sebuah stand dari Disdukcapil di acara pameran yang digelar di Manislor.
Lika yang sudah melakukan perekaman e-KTP sejak 2012 pun seolah mendapat angin segar setelah bertahun-tahun tidak jelas kapan bisa mendapatkan e-KTP.
Namun, saat mendatangi stand tersebut, ia harus dikecewakan petugas Dukcapil.
"Kami dilarang, katanya warga Manislor tidak boleh, silakan datang ke kantor (kalau mau mengurus)," ujar Lika.
Urusan sosial ekonomi warga juga jadi terganggu.
Menurut dia, banyak hal lain yang dialami warga sebagai dampak tidak diterbitkannya e-KTP bagi pengikut Ahmadiyah setempat.
Misalnya, kesulitan mengurus BPJS, perbankan, pendaftaran kuliah anak di perguruan tinggi, dan lainnya.
Lika mengatakan, ia pernah tak bisa mengurus ATM miliknya yang terblokir.
"Tetapi karena saya enggak ada KTP jadi enggak bisa urus," ujar Lika.
Syamsul Alam Agus, kuasa hukum warga Ahmadiyah Manislor dari Yayasan Satu Keadilan, mengatakan, hingga kini, setidaknya ada 1.400 anggota jemaah Ahmadiyah di Manislor yang belum mendapatkan e-KTP.
"Akibatnya, berdampak pada pengurusan administrasi kependudukan lainnya, seperti pernikahan, SKCK, dan lain sebagainya," ujar Agus.
Menurur dia, kasus pengabaian hak atas identitas diri terhadap jemaah Ahmadiyah di Manislor tersebut terjadi pasca terbitnya Surat Pakem oleh Tim Pakem Kabupaten Kuningan dengan Nomor B.938/0.2.22/ Dep.5/12/ 2002, pada tanggal 3 Desember 2002.
Surat tersebut "meminta Camat tidak membuatkan KTP bagi JAI".
Kemudian, disusul dengan terbitnya Surat Bupati Kuningan Nomor: 470/627/Disdukcapil, Perihal: pencatuman agama bagi JAI pada e-KTP.
"Mereka harus keluar sebagai anggota JAI jika ingin mendapatkan KTP-el," ujar Agus.
Agus membenarkan, bahwa untuk mendapatkan identitas diri, warga Ahmadiyah Manislor harus menandatangani surat pernyataan yang intinya membaca dua kalimat Syahadat dan bersedia dibina.
Warga tidak mempermasalahkan bila pernyataan itu diberlakukan bagi seluruh warga yang ingin mencantumkan agama Islam pada kolom agama e-KTP.
"Namun, pada kenyataannya pernyataan itu hanya diberlakukan bagi Ahmadiyah dan ini menjadi salah satu bentuk diskriminasi warga negara," ujar Agus.
Keengganan menerbitkan e-KTP bagi JAI Manislor, lanjut Agus, selain pelanggaran hak asasi, juga bentuk pelanggaran hukum dan menghambat tujuan Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Padahal, kata dia, e-KTP diterbitkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan administrasi kependudukan kepada masyarakat dan menjamin akurasi data kependudukan.
Dia mengatakan, identitas berupa KTP juga bersifat mutlak dan hakiki sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa setiap orang berhak memiliki, memeroleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar segera melakukan evaluasi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, terkait perlakuan diskriminasi untuk mendapatkan hak atas identitas diri atau administrasi kependudukan lainnya terhadap jemaat Ahmadiyah Manislor.
"Agar Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan segera memenuhi hak anggota JAI Manislor sebagai warga negara, berupa hak atas administrasi kependudukan, yakni KTP-el," ujarnya.