Persatuan nasional dan iman solidaritas
Setelah menanamkan secara radikal indikator-indikator keilahian terhadap dinamika kemanusiaaan, keadilan dan peradaban itu sendiri, maka kita selanjutnya perlu melakukan linieritas keilahian dan kemanusian dengan komitmen persatuan nasional.
Ernest Renan menginspirasikan Soekarno (1964) bahwa bangsa adalah satu jiwa (“une nation est un ame”). Artinya, bangsa adalah jiwa. Satu bangsa adalah satu jiwa.
Maksudnya, kata Soekarno, “satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar” (“une nation est un grand solidarite”).
Jadi, yang membuat bangsa itu bersatu (satu jiwa) menurut Renan adalah solidaritas antarsesama anggotanya, yang juga kemudian oleh Ernest Renan disebut “kehendak untuk hidup bersama”.
Apa yang dikatakan Soekarno mengenai Ernest Renan (1964) tentang kebangsaan menunjukkan bahwa persatuan nasional menggambarkan solidaritas spiritual dalam kemanusiaan itu sendiri.
Solidaritas spiritual dalam kemanusiaan tersebut setidaknya menjadi komitmen bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menafikan solidaritas spiritual dalam satu jiwa kemanusiaan dan kebangsaan akan menimbulkan conflict of interest, di mana kepentingan sesaat manusia dari kekuasaan golongan-golongan akan berusaha memecah-belah solidaritas bersama.
Persatuan nasional hanya bisa dicapai dengan solidaritas sosial-spiritual yang perlu diintensifkan dan diaktualisasikan dalam kenyataan hidup bersama melalui cinta, keterbukaan, penerimaan dan kepedulian kepada sesama yang berbeda latar belakang kehidupan suku, agama, ras, dan golongannya.
Aktualisasi persatuan nasional tersebut seharusnya menjadi tolak ukur perjuangan bersama dalam kemanusiaan yang lebih hegemonik agar tidak terjadi penindasan antar satu golongan dengan golongan lainnya.
Apa yang saya uraikan soal linieritas tersebut dapat diungkapkan melalui satu kalimat: Satu ruh dan satu jiwa untuk kemanusiaan akan mengantarkan ruh yang lahir dari cahaya ilahiah demi kepentingan bersama dalam perdamaian hidup berbangsa.
Musyawarah dan keadilan sosial
Ketika manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah menuntaskan iman solidaritas spiritual yang emansipatorik tersebut, maka keinginan untuk memajukan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan harus diaktualisasikan melalui musyawarah perwakilan.
Tulisan saya yang berjudul “Spirit Keagaman dan Iman Kebangsaan” yang dimuat di Kompas.com tanggal 16 November 2016, mencantumkan sedikit soal pentingnya kaum arif-intelektual dalam permusyarawatan perwakilan.
Dalam tulisan tersebut saya menawarkan prasyarat untuk menjadi kaum arif-intelektual setidaknya mendasarkan dirinya pada 5 kompetensi inti: berintegritas, responsif, amanah, progresif dan terukur.
Hikmah kebijaksanaan inilah yang akan menjadi ruh permusyarawatan perwakilan yang disyaratkan. Dalam tulisan tersebut pula, saya menawarkan perlunya standar kompetensi politik bagi yang ingin mencapai permusyarawatan perwakilan, tentunya dengan indikator-indikator penting dalam 5 kompetensi inti yang telah saya sebutkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal inilah yang pernah dikatakan oleh Soekarno, “…kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya”.
Menurut Ulpianus, pakar hukum Romawi kuno, adil atau tidaknya perilaku seseorang terhadap sesamanya dalam komunitasnya ditentukan oleh kemampuannya untuk menghargai hak-hak sesamanya. Istilah yang dia kemukakan untuk itu adalah “tribuere jus suum cuique” (memberi masing-masing haknya) (K. Bertens, 2000).
Maka, keadilan sosial dalam indikator kesejahteraan sosial dan gotong royong setidaknya bisa meminjam apa yang dikatakan oleh (alm) Pramoedya Ananta Toer, dapat dicapai dengan keadilan semenjak dalam pikirannya.
Spiritualisasi Pancasila dalam perjuangan emansipatorik
Artikulasi nilai dasar spiritual Pancasila dalam perjuangan pembebasan dari despotisme setidaknya patut dijiwai oleh masing-masing warga negara. Kristalisasi nilai luhur yang ada dalam Pancasila harus menjadi penggerak kemampuan, keinginan dan akal-budi kebangsaan bagi masing-masing rakyat Indonesia.
Sejatinya, Pancasila ini bersifat immaterial. Dari yang immaterial tersebut, maka Pancasila harus menjadi daya yang sejalan dengan spiritual keilahian dalam membangkitkan potensi moralitas dan intelektualitas secara sinergis dan berkesinambungan.
Lima mutiara dalam Pancasila setidaknya harus dikupas habis mencapai inti kesadaran dan sikap dasar bangsa Indonesia agar tercapai ketuhanan yang berkebudayaan, solidaritas kemanusiaan dan terwujudnya keadilan yang terbebas dari unsur despotisme.
Bila, kupasan-kupasan tersebut menjadi nalar-indoktrinatif hingga sampai tertanam dalam perilaku, maka secara aksiologi Pancasila telah berhasil menjadi nafas kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahul-muwafiq. Billahi Ilaa Aqwami thariiq.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.