Tantangan
Tantangan pertama yang harus diperjelas oleh DPR dan pemerintah adalah transparansi mengenai data jumlah penduduk yang digunakan sebagai acuan dalam alokasi kursi DPR.
Sejauh ini, data resmi termutakhir yang bisa diakses adalah rekapitulasi data agregat kependudukan semester II-2016 yang telah dilansir oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Jumlah penduduk Indonesia di 34 provinsi mencapai 259.993.081 jiwa.
Sementara institusi lain, semisal Badan Pusat Statistik hanya memiliki data periodik terbaru hasil Sensus Penduduk 2010 dan data tahun-tahun berikutnya merupakan hasil proyeksi di mana proyeksi penduduk tahun 2015 sejumlah 255.461.700 jiwa.
Tantangan kedua adalah soal metode hitung untuk pengalokasian kursi tersebut, variabel apa saja yang diperhitungkan, dan ujungnya tentunya harus bisa diuji proporsional tidaknya.
Pada Pemilu 2004, misalnya materi UU Pemilu juga menyertakan soal kepadatan penduduk di sebuah wilayah sebagai faktor yang diperhitungkan dalam alokasi kursi DPR.
Sementara itu, disproporsionalitas dalam alokasi kursi dikenal sebagai malapportionment, di mana ukuran yang lazim digunakan adalah MAL-Index atau Loosemore Handby Index (LHI). LHI bernilai 0 (nol) mencerminkan representasi ideal.
Semakin tinggi nilai LHI, semakin under-represented pengalokasian yang dilakukan, sebaliknya LHI minus mencerminkan terjadi representasi yang berlebih.
Simulasi terhadap alternatif pembagian kursi DPR sebagaimana dikemukakan Ketua Pansus DPR Lukman Edy menghasilkan LHI 3,11 persen.
Dalam simulasi penambahan 15 kursi tersebut, Nusa Tenggara Barat akan menjadi provinsi dengan harga kursi termahal, yakni satu kursi DPR setara 519.881 penduduk-kuota yang bahkan jauh lebih mahal ketimbang enam provinsi di Jawa yang tak sampai 500.000 jiwa per kursi DPR.
Kursi di Sulawesi Selatan masih terhitung "murah", bahkan dibandingkan Maluku dan Maluku Utara. Karena itu, harus disimulasikan alternatif lain yang bisa jadi akan lebih mencerminkan prinsip proporsionalitas.
Sebagai penutup, sekali lagi, penambahan dan pembagian kursi DPR seyogianya tak mengulang kembali gugatan lama soal representasi dan proporsionalitas.
Mencoba akomodatif boleh saja, tetapi sebagaimana argumentasi yang kerap disodorkan pihak DPR untuk menyokong ide penambahan kursi, idealnya tak ada lagi provinsi yang tak memperoleh kursi perwakilan kurang dari semestinya (under-represented) ataupun berlebih.
Respons dan pengujian publik atas argumentasi mengenai dasar penambahan dan sekaligus konsekuensinya tentu tidak bisa diabaikan. Karena kita semua tentu berharap agar besaran dan alokasi kursi DPR ini tidak berulang membawa beban persoalan dari pemilu ke pemilu.
Sidik Pramono
Pengajar di FISIP Universitas Budi Luhur; Aktif di Election and Governance Project
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Kursi DPRdan Kompromi Kebablasan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.