JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Hamsari berpendapat bahwa penambahan jumlah kursi DPR tidak berkorelasi dengan peningkatan kinerja anggota.
Penambahan kursi dalam pembahasan RUU Pemilu itu akan mengubah format 560 kursi menjadi 579 kursi.
Menurut Feri, jika dilihat dari penambahan jumlah kursi DPR dari hanya 260 anggota pada 1955 hingga menjadi 560 kursi pada 2009 dan 2014, sama sekali tidak berpengaruh pada peningkatan kinerja DPR.
(Baca: Penambahan Kursi DPR Dinilai Tidak Tingkatkan Kualitas Keterwakilan)
"Harapannya penambahan jumlah kursi akan meningkatkan kinerja terkait Legislasi, pengawasan dan budgeting. Tapi faktanya hal itu tidak terjadi jika dilihat dari aspek sejarahnya. Tidak ada korelasi," ujar Feri dalam sebuah diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (29/5/2017).
Berdasarkan pengamatan Pusako, lanjut Feri, DPR selalu mengalami persolan yang sama, yakni tidak mampu untuk memenuhi target pemenuhan program legislasi nasional.
Hal tersebut menjadi salah satu indikator bahwa penambahan kursi tidak mampu meningkatkan kinerja.
"Dari dulu sama sekali tidak ada peningkatan kinerja. Selalu keteteran memenuhi program legislasi nasional. Tidak mencapai 10 persen dari prolegnas," kata Feri.
(Baca: Wacana Penambahan Kursi di DPR seperti "Membeli Obat Tanpa Resep")
Feri justru menilai, rencana penambahan kursi DPR sarat dengan kepentingan politik, agar semakin banyak anggotanya yang menjadi perwakilan di DPR.
Dengan demikian akan lebih banyak lagi anggaran di DPR yang masuk ke partai politik.
"Saya khawatir rencana ini hanya kepentingan, untuk masuknya dana dari DPR ke partai politik. Rencana ini menjadi patut kita pertanyakan," ucapnya.