Reza menambahkan, di sekolah mereka telah ditanamkan pelajaran untuk antiterhadap radikalisme.
Pihaknya ingin ada hal yang konkret dari pelajaran yang diterima tersebut.
Ide gerakan ini, kata Reza, diturunkan oleh kakak kelasnya, yang kemudia dilanjutkan sehingga ada kerja sama kampanye media sosial bersama SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu.
Menurut pelajar SMA Al-Izhar, Katya Nahendratanaya, justru dengan berbeda bukan berarti tidak bisa bekerja sama untuk menggaungkan nilai-nilai persatuan.
“Karena kami ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa walaupun memang kita memiliki banyak perbedaan yaitu latar belakang agama, kita bisa bekerja sama dan menghasilkan sesuatu yang baik,” ujar Katya.
Katya bercerita sejak kecil dalam keluarga ia sudah diajarkan mengenai keberagaman. Di sekolah pun demikian.
“Walaupun kami sekolah Islam, kami juga masih sangat menjunjung tinggi keberagaman Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, dan sama seperti sekolah Kanisius, kami juga tidak mentoleran paham-paham radikalisme,” ujar dia.
Demikian juga Reza, yang becerita pengalaman kakak kelasnya dulu dikirim belajar di sekolah berbasis agama yang lain, seperti Islam, Budha, untuk belajar bersama. Hal ini menunjukan suatu bentuk toleransi.
“Jadi menurut saya sendiri adanya pembelajaran toleransi di kanisius sudah sangat baik,” ujar Reza.
Keduanya mengaku senang dengan respons dari publik di media sosial atas gerakan ini. Mereka tak menyangka yang mendukung ternyata banyak.
Mereka akan terus mengampanyekan ini, dan berharap membawa dampak positif. Sekaligus mereka ingin menunjukan bahwa generasi muda bisa memanfaatkan media sosial untuk hal baik.