Pentingnya agama sebagai bagian dari jati diri bangsa tak perlu dinafikan, terlebih di era globalisasi. Negara-negara maju di Barat menyadari globalisasi kapital dan perdagangan yang kini menyengsarakan warga sendiri. Karena itu, gerakan populisme di Barat menguat. Namun, ancaman globalisasi bagi Indonesia sebagai negara berkembang adalah hilangnya jati diri bangsa. Kita tidak seperti Jepang, Korea Selatan, atau Tiongkok yang jadi modern dengan tetap memberikan ruang hidup bagi akar-akar tradisional. Bahkan, kultur itu melintas batas-batas negara.
Kebudayaan kita begitu beraneka ragam dan sporadis. Minim perhatian pemerintah untuk melestarikannya. Setiap budaya daerah dengan kekuatan kecil tak berdaya menghadapi gempuran masif globalisasi melalui kemajuan teknologi informasi. Satu- satunya kekuatan kultural yang tak mudah dilibas zaman adalah agama. Di situ kedudukan strategis agama Islam di Indonesia.
Islam bukan hanya agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia, melainkan bersama agama-agama lain membentuk jati diri bangsa. Islam Indonesia dengan wajah kulturalnya jadi benteng terakhir jati diri bangsa. Bangsa Indonesia, tak hanya yang Muslim, berkepentingan memelihara wajah kultural Islam di tengah kekosongan strategi kebudayaan Indonesia. Ketika globalisasi membuat orang tunggang- langgang mencari tambatan kultural, di Indonesia agama menjadi tambatan kultural.
Namun, wajah kultural agama dirusak oleh politisasi agama. Politik kekuasaan cenderung menghalalkan segala cara. Politisi tidak segan-segan menjadikan agama sebagai komoditas politik, tak peduli apakah dengan begitu rusak pula marwah agama atau umat terbelah. Rumah ibadah menjadi tempat berkampanye kehadiran negara untuk mengoreksi atau memelihara marwah agama.
Politisi menarik agama ke panggung politik praktis yang dikuasai para pemburu kekuasaan. Mereka berlindung di balik marwah agama untuk menutupi inkompetensi dan tata kelola yang buruk. Dengan politik yang melibatkan agama, masuk pula agamawan ke dalam barisan politik dan memasukkan agama ke dalam kancah politik. Menjadi janggal ketika agama memicu kegaduhan dan konflik sosial.
Untuk menyelamatkan marwah agama dan menjaga kesatuan bangsa, negara tidak bisa berdiam diri membiarkan agama jadi obyek politisasi. Rumah ibadah dan dunia maya adalah ruang publik. Di situ negara harus hadir secara terukur untuk menjamin tidak adanya ujaran provokatif. Berulang-ulang dusta tanpa koreksi akan membuat ada orang yang percaya itulah kebenaran.
Tidak cukup jadi pengurus negara (negarawan). Tata kelola negara yang baik juga harus memproduksi politisi yang memegang teguh prinsip luhur politik dan agama, serta mewakafkan hidupnya untuk kesejahteraan rakyat. Tak banyak politisi seperti Bung Hatta, yang konsisten: nasionalisme kebangsaan mendarah daging dalam tutur dan lakunya.
Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Nasionalisme Kebangsaan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.