JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggali keterangan dari petani tambak di Lampung dalam rangka penyidikan kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, petani tambak di Lampung yang diperiksa adalah petani tambak dari PT Dipasena.
Perusahaan ini merupakan milik Sjamsul Nursalim, obligor SKL BLBI yang juga pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Febri mengatakan, pemeriksaan petani tambak tersebut dilakukan pada 9 Mei-11 Mei 2017 lalu, di Polda Lampung.
Ada puluhan petani tambak yang diperiksa.
"Penyidik memeriksa 22 saksi yang merupakan petani tambak Dipasena di Lampung," kata Febri, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Ia mengatakan, ada sejumlah hal yang digali dari petani tambak di sana, di antaranya meliputi kontrak, pinjaman, proses pengucuran dana, proses pengembalian kewajiban, atau pinjaman.
"Itu yang dilakukan minggu lalu," ujar Febri.
Pada 8-11 Mei 2017, penyidik KPK juga menyita dokumen dari salah satu kantor notaris di Lampung terkait penyidikan kasus BLBI.
Pada kasus ini, KPK telah menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.
Selain mendalami peran Syafruddin, Febri menyatakan KPK juga mendalami pihak lain pada kasus penerbitan SKL BLBI yang diduga merugikan negara sekurangnya Rp 3,7 trilun tersebut.
"KPK sampai saat ini terus gali peran dari tersangka SAT dan pihak lain yang terkait proses peneribtan SKL tersebut," ujar Febri.
Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka.
Penetapan ini terkait penerbitan SKL dalam BLBI. Dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.
Sjamsul sudah menerima SKL dari BPPN, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun, dari yang seharusnya Rp 4,8 triliun.
KPK akan mengumpulkan data-data keuangan untuk menelusuri aset negara yang diduga telah berubah bentuk.
Selain itu, KPK akan mengikuti aliran dana mulai dari pemberian Bank Indonesia kepada obligor.
KPK juga akan menelusuri jumlah kick back atau keuntungan uang diperoleh Syafrudin dalam penerbitan SKL.