JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengatakan, jerat hukum melalui penuntutan di pengadilan dengan dakwaan melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas Baiq Nuril adalah bentuk kriminalisasi.
"Dalam hal ini Ibu Nuril bukanlah pihak yang mendistribusikan atau menyebarkan rekaman perbuatan asusila yang diceriterakan kepadanya," kata Yati kepada Kompas.com, Selasa (16/5/2017).
"Penahanan terhadap Ibu Nuril adalah tindakan yang belebihan, mengingat Ibu Nuril memiliki tiga orang anak, tidak ada hal-hal yang membuatnya akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, atau mengulang perbuatannya," ujar dia.
Selain itu, Yati menegaskan, dakwaan melanggar Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE yang dituduhkan kepada Baiq Nuril sungguh tidak beralasan.
Dalam hal ini, Yati menilai penegak hukum, jaksa dan polisi gagal melihat motif kasus ini.
"Penegak hukum, jaksa dan polisi juga gagal melihat konstruksi patriarki dalam kasus ini. Di mana perempuan seringkali menjadi obyek tindakan-tindakan asusila," kata Yati.
Dia menambahkan, seharusnya Nuril dilindungi dan bukannya dikriminalisasi karena perbuatan asusila atasannya. Yati meminta hakim untuk membebaskan Nuril dari penahanan dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum.
Baiq Nuril Maknun mendekam di penjara karena dilaporkan atasannya dengan tuduhan menyebarkan rekaman telepon yang diduga mengandung unsur asusila.
Kasus Nuril berawal pada 2012. Saat itu Nuril masih bekerja menjadi pegawai honorer di SMAN 7 Mataram. Nuril kerap mendapat telepon dari atasannya yang bercerita soal hubungannya dengan wanita lain.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.