Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Kadir Karding
Politisi

Sekretaris Jenderal DPP PKB Periode 2014-sekarang. Anggota DPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019 dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mewakili Jawa Tengah. Saat ini menjabat sebagai anggota Komisi III DPR RI. Alumnus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang tahun 1997.

Pasal Penistaan Agama, Masih Perlukah?

Kompas.com - 14/05/2017, 13:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Hingga kini, Indonesia memang masih memberlakukan pasal larangan penistaan agama. Ada dua dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penistaan agama.

Pertama, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Kedua, Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam aturan itu, banyak larangan menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Ada pula larangan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pada 2010 lalu, beberapa aktivis sudah pernah mengajukan uji materi terhadap Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 itu. Pemerintah bersikukuh aturan itu masih diperlukan. Bila ketentuan penistaan agama dicabut maka berpotensi menimbulkan konflik sosial karena para pemeluk agama bisa saling menghina.

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya.

MK berpendapat bahwa pasal penistaan agama tak mengancam kebebasan beragama, tak diskriminatif, serta tak berpotensi ada kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.

Kehidupan beragama di Indonesia memang unik. Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, ras, budaya dan antar golongan. Ribuan orang yang berbeda itu sehari-hari harus hidup saling berdampingan.

Salah satu kunci agar mereka tak saling bertengkar adalah adanya kesepahaman bersama bahwa kita hidup di Indonesia. Untuk itulah, di antara mereka jangan saling menghina, memfitnah, dan menyinggung.

Dalam konteks itu, pasal penistaan agama memang masih diperlukan. Ini untuk menjaga agar pemeluk agama tidak saling menghina dan menista. Tapi, penerapan pasal ini harus sangat hati-hati.

Hemat penulis, penyelesaian kasus penistaan agama melalui proses hukum di peradilan akan sangat melelahkan. Belum lagi, proses peradilan sudah selesai, tapi polemiknya masih akan terus terjadi.

Untuk itulah, perlu ada jalur-jalur penyelesaian di luar peradilan. Misalnya melalui tanpa pengadilan (non justicia), mediasi hingga saling memaafkan. Penyelesaian model ini akan menunjukkan kedewasaan, kebijakan dan memberikan pembelajaran bagi publik.

Berangkali hanya kasus-kasus tertentu yang harus diselesaikan di peradilan. Namun, sekali lagi, harus diterapkan secara hati-hati. Jangan sampai pasal penistaan agama ini menjadi alat mengkriminalkan keyakinan atau pendapat seseorang.

Hakim harus melihat fakta hukum untuk menjunjung keadilan. Hakim jangan terpengaruh dengan tekanan massa dan pemberitaan media. Hakim juga jangan memutuskan perkara mendasarkan pada motif sesuai keyakinan pribadi agamanya.

Pertanyaannya, apakah hakim-hakim di negeri sudah bisa memiliki kualitas seperti itu? Semoga sudah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com