Hingga kini, Indonesia memang masih memberlakukan pasal larangan penistaan agama. Ada dua dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penistaan agama.
Pertama, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Kedua, Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam aturan itu, banyak larangan menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Ada pula larangan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pada 2010 lalu, beberapa aktivis sudah pernah mengajukan uji materi terhadap Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 itu. Pemerintah bersikukuh aturan itu masih diperlukan. Bila ketentuan penistaan agama dicabut maka berpotensi menimbulkan konflik sosial karena para pemeluk agama bisa saling menghina.
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya.
MK berpendapat bahwa pasal penistaan agama tak mengancam kebebasan beragama, tak diskriminatif, serta tak berpotensi ada kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.
Kehidupan beragama di Indonesia memang unik. Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, ras, budaya dan antar golongan. Ribuan orang yang berbeda itu sehari-hari harus hidup saling berdampingan.
Salah satu kunci agar mereka tak saling bertengkar adalah adanya kesepahaman bersama bahwa kita hidup di Indonesia. Untuk itulah, di antara mereka jangan saling menghina, memfitnah, dan menyinggung.
Dalam konteks itu, pasal penistaan agama memang masih diperlukan. Ini untuk menjaga agar pemeluk agama tidak saling menghina dan menista. Tapi, penerapan pasal ini harus sangat hati-hati.
Hemat penulis, penyelesaian kasus penistaan agama melalui proses hukum di peradilan akan sangat melelahkan. Belum lagi, proses peradilan sudah selesai, tapi polemiknya masih akan terus terjadi.
Untuk itulah, perlu ada jalur-jalur penyelesaian di luar peradilan. Misalnya melalui tanpa pengadilan (non justicia), mediasi hingga saling memaafkan. Penyelesaian model ini akan menunjukkan kedewasaan, kebijakan dan memberikan pembelajaran bagi publik.
Berangkali hanya kasus-kasus tertentu yang harus diselesaikan di peradilan. Namun, sekali lagi, harus diterapkan secara hati-hati. Jangan sampai pasal penistaan agama ini menjadi alat mengkriminalkan keyakinan atau pendapat seseorang.
Hakim harus melihat fakta hukum untuk menjunjung keadilan. Hakim jangan terpengaruh dengan tekanan massa dan pemberitaan media. Hakim juga jangan memutuskan perkara mendasarkan pada motif sesuai keyakinan pribadi agamanya.
Pertanyaannya, apakah hakim-hakim di negeri sudah bisa memiliki kualitas seperti itu? Semoga sudah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.