Apakah tolok ukurnya? Siapa yang bisa menilainya? Ulamakah? Seorang kiyai? Cerdik cendekia? Pendeta? Bhante? Bhiksu? Sesosok Nabi?
Ada atau tanpa kehadiran kita, seperti apakah wajah dunia? Beragama atau tidak, akan bagaimanakah hidup jadinya? Berpancasila pun berpegangan wewarah, jadi apakah kita akhirnya? Antara sarjana S3 dan santri jebolan pesantren, siapa yang lebih keren?
Percaya atau tidak, suka maupun tak, semua jadi percuma bila kita gagal merenunginya.
Manusia memang makhluk sempurna. Orang Nusantara boleh merasa istimewa. Namun tanpa kesadaran yang mumpuni, jangan harap hidup kan berbaik hati.
Kita kadung lupa, bahkan teramat sering alpa, ada begitu banyak jasa manusia di masa lalu sana. Nun jauh di gerbong belakang sejarah, yang belum menamai daya ciptanya sebagai kerja pribadi; belum sempat mencicipi buah pikiran sendiri; belum lagi melihat hasil olah karsanya mengubah hidup insani.
Tapi rasa mereka cenderung terasah. Kerap diolah. Terbukti pada tinggalan artefak dan jejak langkahnya. Budi mereka berdaya. Jadi budaya.
Rasa hidup mereka terukir estetika seni yang terus mengalir. Keindahan pikiran, kejernihan hati, kesantunan laku, tertoreh pada dinding zaman di liang goa, di lembaran lontara, pada kelezatan masakan, serta kehalusan pekerti dan perasaan.
Kita kehilangan banyak hal tanpa disadari. Kita mencari sesuatu yang hilang entah di mana. Kita terus bertikai di hamparan tanah yang sama. Berebut air yang sama diminum. Bersengketa untuk udara yang dihirup. Saling membakar dengan api yang kita pantik dengan kemarahan. Bara paling dendam. Kesumat yang melumat.
Kita abai pada satu hal sederhana: betapa hidup bukan pergerakan logika dan akal semata, melainkan untaian panjang perjalanan rasa yang sambung sinambung jadi Cinta.
Saat ini, kita harus merancang bentuk kecerdasan, kearifan, dan kesadaran terkini. Jika masih ada remah kebijaksanaan dari masa ribuan tahun silam yang bisa kita terapkan, mari menerapkannya. Bila tidak, kita tak bisa terus menopang dagu. Menunggu waktu melindas kita jadi sejarah yang membatu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.