Bilik Musik bersusah payah menahan tangis selama bermain, sementara saya yang menonton dibanjiri oleh air mata dan oleh kerinduan. Tentu saja, ada pula penampilan dari The Professor Band. Grup musik ini beranggotakan profesor-profesor terbanyak dan mencatat rekor, juga dipunggawai oleh Kakung semasa hidupnya.
Sudah lebih 100 hari Kakung mangkat meninggalkan keluarga kami. Kadang-kadang terasanya masih seperti ketika almarhum sedang pergi untuk dinas ke luar kota atau ke luar negeri.
Beliau biasa bepergian untuk beberapa hari sampai beberapa minggu meskipun usianya sudah lebih dari 70 tahun. Beliau travelling untuk begitu banyak keperluan: mengajar dan memberi ceramah psikologi, menggelar pertunjukan wayang, riset soal deradikalisasi, kunjungan ke penjara atau Nusakambangan untuk berdialog bersama para teroris, main band, atau berkolaborasi dengan berbagai macam asosiasi psikologi internasional.
Hampir dua dekade saya mengenal almarhum Bapak mertua saya, sejak sebelum saya menikah dengan suami saya. Hampir sepuluh tahun sejak saya menjadi menantunya, saya mengamati bahwa kehidupan almarhum memang diwakafkan untuk kerja, kerja, dan kerja.
Jauh sebelum rezim Pak Jokowi mengusung slogan yang sama untuk pemerintahannya, Bapak mertua saya sudah melakoninya mungkin sejak lima puluh tahun yang lalu, selepas beliau tamat bangku perkuliahan di Universitas Indonesia.
Kakung masih terus aktif sampai akhir masa hidupnya, yang tidak cukup lama ketimbang apa yang pernah almarhum cita-citakan.
Kakung pernah menyampaikan bahwa beliau ingin seperti almarhumah Ibunda, Hj. Sophie Sarwono Gunawan, yang bisa hidup sehat dan aktif sampai usia 90an dan bisa menyaksikan pernikahan cucu-cucunya.
Karena mimpi itulah, mungkin, Kakung nyaris seperti tidak dapat ‘berdamai’ setiap kali aktivitasnya mesti ‘terpaksa’ mendapat jeda karena sakit. Sudah beberapa tahun belakangan Kakung rutin keluar masuk Rumah Sakit untuk operasi batu ginjal. Setidaknya setahun sekali, muncul batu baru yang mesti diangkat dari ginjalnya.
Dan, selama saya menunggu proses recovery beliau di RS, Kakung selalu kembali bekerja. Langsung, setelah efek anastesi pasca operasinya habis. Jadi setelah siuman dan bisa minum, yang Kakung minta pertama kali pada saya adalah jam tangan, kacamata, laptop, dan HP beserta charger-nya.
Almarhumah Eyang Sophie, istri dan anak-anak beliau tentu kerap memarahi Kakung karena kebiasaannya yang ugal-ugalan ini. Tapi karena posisi saya sebagai anak mantu, jadi saya cenderung manut saja kalau Kakung begitu. Lagipula, dimarahipun tidak ada pengaruhnya.
Dulu ketika kami tinggal di Belanda dan Kakung sedang tinggal di Malaysia untuk menjadi dosen tamu, kami sering mendapat email panjang minimal tiga lembar setiap kali beliau menyampaikan kabar.
Bagaimanapun, saya merasa bahwa kecintaan terhadap baca tulis inilah yang kemudian menjadi dasar kedekatan kami. Kakung dan saya sering saling meminjam buku dan mendiskusikan buku yang baru kami baca.
Tentu lebih seringnya saya meminjam dari beliau karena koleksinya yang bejibun, tapi biasanya saya lebih punya info terkini tentang buku-buku yang baru terbit.
Jika ada buku baru yang kami anggap menarik dan menjadi bahan perbincangan, kami akan bersemangat mencarinya berdua, kemudian membaca dan membahasnya.
Kakung adalah penulis yang teramat disiplin dan produktif. Ia punya kebiasaan tidur cepat sebelum jam 9 malam, lalu bangun sekitar jam 3 pagi untuk menulis, membaca, sebelum solat subuh dan jalan pagi.
Setelah mandi dan sarapan sedikit, beliau sempatkan tidur sebentar sampai jam 8 pagi sebelum memulai pekerjaan kantornya. Disiplin kerja puluhan tahun inilah yang menurut saya menyebabkan beliau dikenal sekaligus dicintai begitu banyak orang.