JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus hukum yang menyeret Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto memantik pergolakan internal partai itu.
Novanto, yang juga Ketua DPR, dicegah bepergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pencegahan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Novanto berstatus sebagai saksi dalam kasus tersebut.
Sejumlah elite partai sekuat tenaga meyakinkan publik bahwa Golkar masih solid di bawah kepengurusan Setya Novanto.
Namun setidaknya dalam dua hari terakhir, ada pernyataan yang mencerminkan soliditas Golar mulai terancam dari sejumlah pengurus partai.
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Partai Golkar Yorrys Raweyai pada Senin (24/4/2017), misalnya.
Dalam sebuah acara diskusi ia mengungkapkan bahwa Novanto hampir pasti ditetapkan menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Surat pencegahan Novanto ke luar negeri dianggap menjadi tanda awal. (Baca: Yorrys Raweyai: Setya Novanto Hampir Pasti Jadi Tersangka e-KTP)
Partai Golkar, kata dia, akan merespons hal itu dengan digelarnya proses internal yang enggan dibeberkannya.
Sehari berselang, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menanggapi Yoryys.
Dalam Konferensi pers yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar, Idrus mengaku sudah menghubungi Yorrys untuk meminta klarifikasi.
"Maksud Bang Yorrys, Partai Golkar dalam kondisi apapun harus siap. Tidak ada masalah (saja) harus siap apalagi kalau ada masalah," ucap Idrus.
Idrus untuk kesekian kalinya menegaskan bahwa Golkar tak akan menggelar Munaslub. Ia mengklaim bahwa pada rapat-rapat tingkat nasional Golkar, semua menyatakan akan mendukung sepenuhnya kepemimpinan Novanto.
(Baca: Idrus Marham: Semua Kader Golkar Solid Dukung Novanto)
Beberapa alasan melatari dukungan tersebut. Salah satunya karena capaian kepengurusan Novanto.
"Dalam waktu tidak terlalu lama, ada prestasi-prestasi yang dilakukan kepemimpinan Setya Novanto," tuturnya.
Bantahan lain diungkapkan Ketua Umum MKGR (ormas pendiri Partai Golkar), Roem Kono melalui keterangan tertulis.
Roem menegaskan partainya solid mendukung kepengurusan Novanto.
(Baca: Ini Alasan Golkar Pertahankan Novanto meski Terjerat Kasus E-KTP)
"Saya secara pribadi sudah mendapatkan informasi dari Sekjen Partai Golkar Pak Idrus Marham dan ormas sayap lainnya bahwa saudara Yorrys Raweyai telah membantah mengeluarkan statement seperti yang dimuat di media massa hari ini," tutur Roem.
"Pak Yorrys hanya mengatakan bahwa Partai Golkar harus siap dalam keadaan apapun di bawah kepemimpinan Bapak Setya Novanto," sambung dia.
Dukungan golongan muda
Di sisi lain, Tokoh Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Doli Kurnia adalah salah seorang yang sepakat dengan Yorrys.
Menurut dia, apa yang sempat disampaikan Yorrys merupakan representasi sikap dan ekspresi dari sebagian besar pengurus DPP sejak Novanto disebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Baru terbukanya sikap tersebut, kata Doli, disebabkan perkembangan kasus e-KTP yang begitu cepat.
Termasuk pernyataan sejumlah saksi yang semakin memperjelas dugaan keterlibatan Novanto.
"Saya dengan beberapa kawan di GMPG tentu merasa dapat dukungan dari sikap terbuka Bang Yorrys dan kawan-kawan di DPP, yang mudah-mudahan bisa diikuti pula sikap tegas dari dewan-dewan yang lain," ujar Doli.
"Termasuk dukungan dari DPD Provinsi dan Kabupaten/Kota, dalam upaya penyelamatan partai," sambungnya.
Di ujung tanduk
Dengan sejumlah kasus hukum yang menggoyang sang Ketua Umum, banyak pihak meragukan elektabilitas Partai Golkar di Pemilu Legislatif 2019 mendatang.
Apakah Golkar di ujung tanduk?
Salah satu yang mungkin membuat elektabilitas Golkar sedikit tergerus adalah kekalahan di Pilkada DKI Jakarta.
Namun, Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai, turunnya elektabilitas tersebut bisa jadi hanya di Jakarta. Tak berlaku untuk skala nasional.
Ia menambahkan, bukan hanya kali ini Ketua Umum Partai Golkar tersangkut persoalan.
Ketua umum sebelum Novanto, Aburizal Bakrie pernah diterpa kasus lumpur Lapindo. Bahkan, Akbar Tandjung yang juga sempat memimpin Golkar, pernah dipenjara.
Hendri mengatakan, setidaknya Golkar mendapat capaian baik di pemilu 2004, 2009 dan 2014.
"2004 paling baik," ucap Hendri saat dihubungi, Selasa.
Dikutip dari Buku "Kompaspedia: Partai Politik Indonesia 1999-2019", data menunjukkan bahwa Golkar meraih peringkat pertama pada Pileg 2004 dengan 24,48 juta suara dan 127 kursi di parlemen.
Sedangkan pada 2009, meski perolehan suara turun namun Golkar bertengger di posisi kedua dengan 15,037 juta suara dan 107 kursi di parlemen.
Adapun pada 2014 lalu, Golkar masih berada di peringkat kedua dengan 118, 43 juta suara dan 91 kursi di parlemen.
Perolehan suara Golkar cukup stabil meski pimpinan tertinggi partai didera masalah.
Hendri menilai, para pemilih Golkar cenderung sudah mengakar.
(Baca: Jika Novanto Tak Bijak, Nasib Golkar Diyakini Bakal seperti Demokrat)
"Selama loyalisnya masih ada di dunia ini, Golkar akan segitu. Karena curiganya pemilih setia Golkar adalah warga-warga senior Indonesia yang memang sudah loyal," tutur dia.
Namun, poin tersebut sekaligus bisa menjadi kerugian bagi partai. Sebab, Golkar dianggap belum banyak berupaya untuk mendapatkan suara dari kaum muda.
Sehingga suaranya akan stagnan bahkan berpotensi semakin menurun. Golkar juga dinilai tak punya program yang kuat untuk menggaet anak muda.
Bahkan, mayoritas pengurus justru terlihat lebih memedulikan kepentingan pribadi masing-masing.
Kecenderungan itu juga membuat Golkar tak pernah lagi mendorong kadernya untuk jadi pemimpin nasional.
"Masuk ke lingkaran kekuasaan atau DPR/DPRD. Karena sibuk sendiri-sendiri, tidak ada persiapan untuk mendorong kadernya maju ke pemilu nasional," ucap Hendri.
Golkar dianggap terbiasa melalui situasi dimana ketua umumnya tersangkut masalah.
Jika melihat pengalaman sejarah, kata Hendri, elektabilitas Golkar tak akan terjun menukik.
Namun demikian, jika menilik sejarah pula, para ketua umum sebelumnya hanya disandera satu permasalahan. Sementara Novanto lebih dari satu.
Pengalaman masa lalu bisa jadi tak terulang.
(Baca: Pencegahan Setya Novanto dan Kondisi Partai Golkar)
"Sekarang ini ada 'Papa Minta Saham', kemudian ada ganti Ketua DPR, e-KTP. Ada terus masalahnya. Jadi bisa jadi sejarahnya tidak berulang," kata Hendri.
Penyelamatan Golkar
Hendri Satrio menilai, Novanto bisa membentuk presidium. Cara tersebut diperkirakan mampu menyelamatkan Golkar dari sisi manajemen.
Dengan tersangkutnya Novanto terhadap kasus hukum, mungkin saja waktunya juga tak cukup untuk sambil mengurus partai.
Selain itu, dirinya juga mengemban tugas sebagai Ketua DPR RI. Presidium nantinya bisa diisi tokoh-tokoh yang dituakan atau netral.
(Baca: Novanto Imbau DPR Tak Protes ke Jokowi soal Pencegahan Dirinya)
"Sehingga daripada Golkar bising terus-terusan mungkin ada baiknya dibentuk presidium yang lapor ke Golkar supaya Golkar bisa diselamatkan," tutur Hendri.
Masa jabatan Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar berlaku hingga 2019.
Sebelum ada desakan Munaslub, kata Hendri, presidium tersebut dapat dibentuk.
"Setya Novanto bikin presidium, seolah-olah atau salah satu tugasnya menjaga elektabilitas Golkar. Agar Golkar tak dilihat hanya Setya Novanto," kata dia.
"Sekarang karena dia ketua, Golkar dianggap terlibat korupsi terus. Tapi kalau ada presidium kan orangnya banyak."