JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang ketujuh kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/4/2017).
Dalam persidangan, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan enam saksi. Sebagian besar saksi merupakan orang-orang yang diduga mengetahui ada proses menyimpang dalam pengadaan e-KTP.
Enam saksi tersebut yakni Direktur Keuangan Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Sambas Maulana dan Asisten Chief Engineer Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Meidy Layooari.
Kemudian, mantan pegawai di Direktorat Jendral Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, FX Garmaya Sabarling, dan Business Development Manager PT Hewlett Packard Indonesia, Berman Jandry S Hutasoit.
Kemudian, wiraswasta home industry jasa electroplating Dedi Prijono dan Pegawai Negeri Sipil pada Pusat Komunikasi Kementrian Luar Negeri, Kristian Ibrahim Moekmin.
Berikut enam fakta menarik dalam sidang ketujuh kasus e-KTP:
1.Jaksa Pertanyakan Alasan Kemenkeu Kabulkan Perpanjangan Multiyears.
Direktur Keuangan Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan, Sambas Maulana mengatakan, pihaknya memperpanjang kontrak multiyears dan menambah anggaran untuk proyek e-KTP karena alasan tertentu.
Salah satunya adanya keadaan non kahar yang dijelaskan oleh Kemendagri dalam suratnya. Menurut Sambas, keadaan non kahar yang dimaksud karena adanya keterlambatan proses lelang akibat banyaknya sanggahan.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194, keadaan non kahar hanya apabila terjadi perubahan desain karena faktor yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya, atau ada penyesuaian menyangkut negara lain.
(Baca: Ini Alasan Kemenkeu Kabulkan Penambahan Anggaran Proyek E-KTP)
2.Tim Fatmawati.
Dedi Priyono, adik dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, menyebut adanya pertemuan di rumah Andi di Kemang Pratama, Bekasi. Pertemuan itu dihadiri tim Fatmawati serta perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Tim Fatmawati merupakan sekumpulan orang yang terdiri dari sejumlah perusahaan yang tergabung dalam konsorsium Percetakan Negara RI, Astagraphia, dan Murakabi Sejahtera yang beberapa kali melakukan pertemuan di Graha Mas Fatmawati, ruko milik Andi.
(Baca juga: Saksi Ungkap Pertemuan Tim Fatmawati, Kemendagri dan BPPT Bahas E-KTP)
3. Anggota Tim Teknis Proyek E-KTP Akui Ada Bagi-bagi Uang.
Anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri untuk proyek e-KTP mengakui adanya bagi-bagi uang. Mereka yang mengaku menerima adalah Meidy Layooari, Garmaya Sabarling, dan Kristian Ibrahim Moekmin.
Uang dari Kemendagri selama menjadi tim teknis periode 2011-2012, disebut sebagai uang transport dan uang lembur.
(Baca: Anggota Tim Teknis Proyek E-KTP Akui Ada Bagi-bagi Uang)
4.Rekomendasi LKPP Diabaikan.
Anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri mengakui bahwa rekomendasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) tidak ditindaklanjuti dalam proyek e-KTP.
Dalam proyek e-KTP, LKPP merekomendasikan agar sembilan lingkup pekerjaan dalam proyek e-KTP tidak digabungkan, karena peluang terjadinya kegagalan dalam proses pemilihan dan pelaksanaan pekerjaan sangat besar.
Hal itu berpotensi menimbulkan kerugian negara, serta akan menghalangi kompetisi dan persaingan sehat. Namun, dalam prosesnya, lelang tetap dilakukan dengan menggabungkan sembilan lingkup pekerjaan itu.
(Baca: Tim Teknis Kemendagri Akui Saran LKPP Diabaikan dalam Proyek E-KTP)
5. Pemenang Lelang Proyek E-KTP Pesan Barang Sebelum Teken Kontrak.
Business Development Manager PT Hewlett Packard Indonesia Berman Jandry S Hutasoit membenarkan adanya pemesanan barang-barang untuk proyek e-KTP sekitar Maret-April 2011 oleh PT Quadra Solution.
Perusahaan tersebut merupakan salah satu anggota konsorsium PNRI yang disebut sudah diatur menjadi pemenang lelang. Padahal, pengumuman lelang dan teken kontrak baru dilakukan Juli 2011.
(Baca: Pemenang Lelang Proyek E-KTP Pesan Barang Sebelum Teken Kontrak)
6. Mark-up Harga Barang dalam Proyek E-KTP.
Salah satu barang yang disebut jaksa mengalami mark-up harga yakni personal computer (PC) yang melambung tinggi dari harga sebenarnya.
Menurut jaksa KPK Irene Putrie, harga satu PC sebenarnya hanya sekitar Rp 4 juta. Namun, harga barang yang ditawarkan kepada Kemendagri mencapai Rp 12 juta untuk satu unit PC.
(Baca: Jaksa Ungkap Penggelembungan Harga Barang dalam Pengadaan e-KTP)