Studi yang dirilis di Swedia oleh Copenhagen Economics (2015) menunjukkan, penggunaan aplikasi transportasi antarsesama anggota masyarakat (peer-to-peer) berbasis daring menghasilkan penghematan biaya akibat kemacetan 870 juta krona per tahun (sekitar Rp 1,3 triliun), menurunkan penggunaan mobil pribadi 5 persen dan jumlah perjalanan pribadi 3 persen, di samping biayanya yang murah. Kita semua menjadi gagal jika kemajuan semacam ini di masyarakat ditiadakan karena dampaknya bisa mencapai skala makro.
Ke depan, jauh lebih baik dimungkinkan adanya ko-eksistensi antara kedua moda. Adanya keunikan pada fitur masing-masing moda membuat pasar pengguna layanan terfragmentasi dalam dua segmen-urban menengah dan urban bawah-hingga keduanya tak perlu dilarang. Harus diakui akan terjadinya kecideraan jangka pendek pada segmen pasar pengguna moda konvensional, tetapi dalam jangka panjang keduanya akan berjalan dalam keseimbangan baru.
Sebuah survei di San Francisco, AS, oleh Rayle et al (2014) menunjukkan, masih terdapat perbedaan segmen pasar tersendiri untuk tiap-tiap jenis tujuan pengguna moda, yakni 67 persen layanan berbasis aplikasi/daring adalah untuk kebutuhan bersantai/kasual; serta untuk keperluan menuju bandara, janji profesional lain dan tempat kerja, masing-masing 4, 10, dan 16 persen di mana orang lebih menyukai fasilitas transportasi publik.
Artinya, masih ada pasar untuk moda konvensional maupun daring. Di Indonesia, keduanya pun kelak harus menyesuaikan diri kembali dengan layanan transportasi massal (mass rapid transportation/MRT) yang direncanakan beroperasi 2019. Kita harus terus dan siap menjadi masyarakat yang dewasa terhadap perubahan demi kemajuan. Sikap mental demikian akan membuat negeri maju lebih cepat.
Anggoro B Nugroho,
Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Utilitarianisme".