Namun, suasana kebatinan di kalangan mayoritas justru sebaliknya, menganggap pemerintah terlalu memihak minoritas. Pemerintahan dinilai tak adil dan tak tulus menyikapi aspirasi mayoritas terkait masalah sosial, ekonomi, politik, agama, ideologi, dan kultural yang beraneka ragam dan berlapis-lapis.
Titik pandang berbeda dan titik temunya nyaris tak ada. Kalaupun ada, hanya minimalis. Terjadi "gagal paham" di kedua belah pihak, disadari atau tidak. Tampak bahwa multikulturalisme kaum mayoritas masih bersifat eksklusif dan non-akomodatif terhadap minoritas, begitu pula sebaliknya di kalangan minoritas.
Multikultural akomodatif
Belajar dari sini, sejatinya di Indonesia, di mana mayoritas Muslim tulang punggung bangsa, diperlukan multikulturalisme akomodatif yang sebaiknya diajarkan, dipraksiskan, dan diartikulasikan ulama, kiai, rohaniwan, cendekiawan, pemimpin, guru, dan tokoh masyarakat untuk menumbuhkembangkannya.
Multikulturalisme akomodatif sangat relevan karena di sini masyarakat plural yang memiliki kultural dominan membuat penyesuaian, mengakomodasi kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif niscaya merumuskan dan menerapkan UU, hukum, dan kekuatan sensitif secara kultural dengan memberikan kesempatan kepada minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya, sementara pada saat yang sama minoritas tak menentang kultur yang dominan itu (Azyumardi Azra, mengutip Bikhu Parekh, 2002).
Sekiranya multikulturalisme akomodatif sudah membudaya di kalangan mayoritas, kalau pihak minoritas berbuat khilaf atau salah, mudah diselesaikan dan tak perlu menimbulkan aksi-aksi politik dan fisik berwajah kekerasan, yang riskan dan rentan bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Setiap kali terjadi kekhilafan dan kesalahan oleh minoritas, problem ini relatif mudah dipecahkan dan dituntaskan melalui komunikasi, dialog, tabayun, dan pertukaran pikiran, gagasan, dan pengalaman interaksi sosial-kultural nyata. Tanpa harus ke ranah hukum atau penjara, dan lebih mengedepankan pendekatan sosial-kultural bercorak silih asih, asah, asuh.
Sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, agama, dan komunal, pemahaman multikultural akomodatif menjadi agenda sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan kemasyarakatan. Terutama dalam pengakomodasian aspirasi dan suara kaum minoritas dalam ruang publik yang kian pengap oleh tarik-tolak kepentingan ekonomi-politik.
Dengan demikian, Indonesia tetap bisa memelihara dan melestarikan kemajemukan dan kebinekaan di era globalisasi di mana ketegangan berbau agama, ekonomi-politik, ideologi, dan konflik kepentingan mudah meletus. Indonesia tak perlu mengalami nasib seperti Inggris, Jerman, dan Eropa yang menyatakan dan mengakui multikultualisme telah gagal di bumi mereka.
Herdi Sahrasad
Dosen Ilmu Sosial Universitas Paramadina
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Indonesia dan Akomodasi Multikultural".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.