Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Kemunduran Peradaban Kita

Kompas.com - 23/03/2017, 06:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Adakah landasan pemikiran dan kebijaksanaan lain yang bisa menuntaskan kecamuk dunia modern yang sedang kita lintasi?

Pertumbuhan dan perubahan cara kita berkomunikasi dengan kehadiran internet—khususnya media sosial, telah "menjawab" kegelisahan umat manusia sejak lama: eksistensi.

Kini, siapa pun manusianya, di mana pun ia berada, tersambung aktif dengan dunia lain. Dunia dalam piksel. Ia dapat melakukan apa saja sekehendak hati. Sesukanya saja. Data yang beraduk dengan informasi, bertumbukan tanpa saringan.

Semua manusia yang terhubung dengan internet dan memilik akun media sosial, seketika menemukan media penemuan diri yang sebelumnya tak bisa ia dapatkan.

Media sosial, memberi ruang penuh bagi pemilik akun untuk eksis dengan cara masing-masing. Dunia perlu tahu tentang mereka. Tapi mereka tak pernah mau tahu seperti apa wajah dunia senyatanya.

Masyarakat hyperreality seperti ini, adalah fenomena baru abad kita. Mereka abai dengan kenyataan sejati. Bahkan kehilangan empati-simpati pada sekelilingnya. Pada manusia lain.

Wajar jika perang berdarah-darah di Timur Tengah dan Afrika sana, seolah berlalu tanpa simpati. Perang dalam sepi. Kendati ada begitu banyak orang yang mengetahui soal itu, mereka nyaris tak bisa melakukan apa pun. Kecuali hanya berbagi b(c)erita, saling menitip like/love, hingga kemudian melupa.

Corak masyarakat yang kian banal, jadi pemandangan umum dunia kita sekarang. Sedikit saja manusia yang kemudian sanggup menarik diri dari dunia maya yang sarat tipu daya dan membuai itu.

Kaidah emas?

Karen Armstrong bersama gerakan compassion-nya (welas asih), mengajak kita untuk kembali menerapkan kaidah emas yang telah dikembangkan para pembaru kehidupan dari zaman aksial, seperti Lao Tze, Siddharta, Socrates, Isa, Muhammad Saw, dan Mpu Prapanca.

m-gucci Concert crowd.
Jangan lakukan sesuatu yang bila terjadi padamu, kau tak berkenan mengalaminya; Lakukanlah sesuatu yang bila orang lain melakukannya padamu, hatimu senang belaka; Tidak berbuat jauh lebih baik tinimbang melakukan perbuatan yang salah; Hidup sarat makna adalah yang direnungkan.

Lalu pertanyaannya, berapa banyak manusia yang mau melakukan kaidah semacam itu?

Seabad lalu, dunia kita pernah jadi saksi kelahiran-kehadiran manusia adiluhung yang suaranya masih bergema hingga sekarang. Mereka adalah Jean Jaures, Gandhi, Iqbal, Sukarno, Teresa, Mandela, dan Dalai Lama (yang masih hidup).

Mereka tampil sebagai penyintas ruang-waktu, jadi spirit zaman di mana mereka tumbuh berkembang. Kegelisahan mereka melintasi batas terjauh hidupnya. Pemikiran mereka bertahan dari kerapuhan. Kebijaksanaan yang mereka miliki, adalah obat bagi begitu banyak jiwa yang terkoyak—bahkan hingga kini.

Sayangnya, apa yang telah mereka tinggalkan untuk kita, hanya jadi artefak belaka. Kehidupan emas mereka, tak berhasil kita gali.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Datangi Rumah Airlangga, Klaim Sudah Didukung Golkar Maju Pilkada Jatim

Khofifah-Emil Dardak Datangi Rumah Airlangga, Klaim Sudah Didukung Golkar Maju Pilkada Jatim

Nasional
Kemenag Ingatkan Jemaah Haji Dilarang Bentangkan Spanduk dan Bendera di Arab Saudi

Kemenag Ingatkan Jemaah Haji Dilarang Bentangkan Spanduk dan Bendera di Arab Saudi

Nasional
Imigrasi Tangkap DPO Penyelundupan Manusia, Kerjasama dengan Istri Pelaku

Imigrasi Tangkap DPO Penyelundupan Manusia, Kerjasama dengan Istri Pelaku

Nasional
Canangkan Gerakan Literasi Desa, Wapres Ingin SDM Indonesia Unggul

Canangkan Gerakan Literasi Desa, Wapres Ingin SDM Indonesia Unggul

Nasional
DPR Sentil Kemendikbud yang Bilang Pendidikan Tinggi Tidak Wajib: Orang Miskin Dilarang Kuliah? Prihatin

DPR Sentil Kemendikbud yang Bilang Pendidikan Tinggi Tidak Wajib: Orang Miskin Dilarang Kuliah? Prihatin

Nasional
Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Prabowo Ajak PKS atau PDI-P ke Dalam Koalisi?

GASPOL! Hari Ini: Prabowo Ajak PKS atau PDI-P ke Dalam Koalisi?

Nasional
Ngabalin: Revisi UU Kementerian Negara untuk Kebutuhan Masyarakat, Paten Itu Barang...

Ngabalin: Revisi UU Kementerian Negara untuk Kebutuhan Masyarakat, Paten Itu Barang...

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Golkar: Baleg Mewakili Partai-partai

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Golkar: Baleg Mewakili Partai-partai

Nasional
Soal RUU Penyiaran, KIP: UU Pers Bilang Wartawan Tak Boleh Dihalangi

Soal RUU Penyiaran, KIP: UU Pers Bilang Wartawan Tak Boleh Dihalangi

Nasional
Temui Gubernur Jenderal Australia David Hurley, Prabowo Kenang Masa Jadi Kadet

Temui Gubernur Jenderal Australia David Hurley, Prabowo Kenang Masa Jadi Kadet

Nasional
Jemaah Haji Bersiap Menuju Makkah, Ketua PPIH Arab Saudi Pastikan Hak Jemaah Terpenuhi

Jemaah Haji Bersiap Menuju Makkah, Ketua PPIH Arab Saudi Pastikan Hak Jemaah Terpenuhi

Nasional
Soal RUU Penyiaran, Setara Institute: DPR dan Pemerintah Harus Perluas Partisipasi Publik

Soal RUU Penyiaran, Setara Institute: DPR dan Pemerintah Harus Perluas Partisipasi Publik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com