JAKARTA, KOMPAS.com - "Kalau melihat apa yang dikatakan beliau Pak Jokowi, rasanya saya sudah kehilangan Bapak," ujar Gunarti kepada wartawan usai bertemu Presiden Joko Widodo di kompleks Istana, Rabu (22/3/2017).
Gunarti, perwakilan petani di kawasan Pegunungan Kendeng, akhirnya berhasil menemui Presiden Jokowi untuk menyampaikan protes terkait keberadaan pabrik semen yang dinilai merusak lingkungan.
Dia mengeluhkan sikap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menerbitkan izin baru bagi PT Semen Indonesia untuk melakukan operasi penambangan di wilayah pegunungan Kendeng.
Ia menganggap, izin itu bertolak belakang dengan janji yang disampaikan Jokowi kepada petani Kendeng, Agustus 2016 lalu. Namun, pertemuan itu hanya menghasilkan kekecewaan dan air mata bagi Gunarti.
(Baca: Bertemu Jokowi, Petani Kendeng Ini Menangis Tuntutannya Tak Dipenuhi)
Tangis pilu Gunarti tampaknya menjadi akumulasi antara kepedihan dan kehilangan sejak mendaraskan doa untuk Patmi.
Sehari sebelumnya, Selasa (21/3/2017), Patmi (48), seorang petani perempuan dari kawasan Pegunungan Kendeng, wafat usai melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana.
Hampir sepekan, Patmi bersama 49 petani lainnya melakukan aksi protes mengecor kaki dengan semen.
Aksi tersebut menjadi simbol kehidupan mereka yang terbelenggu oleh keberadaan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng.
Kultur Perlawanan
Komunitas adat Sedulur Sikep, atau dikenal dengan masyarakat Samin, memiliki peran penting dalam perjuangan para petani menolak keberadaan pabrik semen.
Masyarakat yang mendiami Pegunungan Kendeng sejak ratusan tahun lalu itu memegang prinsip dalam menjaga kelestarian alam. Mereka menganggap bumi layaknya ibu yang harus dilindungi sebagai pemberi kehidupan. Ibu Bumi yang harus dijaga agar tetap lestari.
Dalam setiap aksinya pun para petani Kendeng selalu melantunkan tembang Ibu Bumi. “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili,” yang artinya "Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti, ibu bumi akan mengadili."
Kultur perlawanan masyarakat Sedulur Sikep memiliki sejarah yang panjang. Mereka meyakini bentuk perlawanan terhadap sebuah otoritas yang menindas dapat dilakukan tanpa kekerasan.
Bagi orang Jawa yang masih mengikuti laku dan tata cara orang Jawa, kemarahan memiliki tingkatan masing-masing. Salah satu sikap marah yang sudah mencapai puncaknya dan sulit diurai adalah ketika mereka sudah mulai berani menyakiti diri sendiri, bukan menyakiti atau membuat kekerasan kepada orang lain.
Surowidjojo ibarat Robinhood yang mencuri dari Belanda kemudian dibagikan kepada orang miskin. Ia lalu mendirikan kelompok "Tiyang Sami Amin". Pergerakan dilanjutkan Putra Surowidjojo, priyayi Raden Kohar, yang konon mengganti namanya menjadi Samin Surontiko.
Antropolog Amrih Widodo melalui tulisannya, Samin In The Order: The Politics of Encounter and Isolation, berpendapat gerakan Samin dimulai 1890-an akibat penetrasi berlebihan dari pemerintah kolonial Belanda.
Amrih menulis, pengikut gerakan Samin saat itu mengucilkan diri, tidak tunduk pada Belanda dan pegawai desa terutama dalam membayar pajak. Pada tahun 1900-an ajaran Samin menyebar dengan cepat dari wilayah Blora ke Bojonegoro, Grobogan, Ngawi, Pati, Rembang, dan Madiun. Tahun 1907 dilaporkan bahwa pengikutnya mencapai 3.000 orang.
(Baca: YLBHI: Pemerintah Harusnya Malu dengan Aksi Petani Kendeng)
Samin kemudian ditangkap di Rembang karena tersebar rumor akan melakukan pemberontakan. Oleh pemerintah kolonial Samin dibuang ke luar Jawa dan akhirnya meninggal di Padang, Sumatera Barat, tahun 1914.
Namun, aktivitas para pengikut Samin tidak terhenti dan mencapai puncaknya 1914. Para pengikut Samin menolak membayar pajak, berani berbicara dalam bahasa berlevel rendah (ngoko) kepada pegawai Belanda atau priayi.
Mereka juga tidak mengacuhkan otoritas ulama agama yang memimpin upacara perkawinan dan penguburan tetapi buntutnya minta bayaran. Amrih Widodo mengungkapkan, Saminisme adalah fenomena sosial yang paling lama di Asia Tenggara.
"Ketika gerakan Samin sangat gencar, pengikutnya tidak lebih dari 3.000, sangat kecil dibanding pemberontakan petani di Banten. Gerakan pengikut Samin bertahan begitu lama karena dianggap tidak mengancam negara," paparnya.
Menjaga Ibu Bumi
Protes masyarakat atas keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng telah berlangsung selama bertahun-tahun. Harian Kompas mencatat, warga Kendeng sudah mengalami kekerasan sistemik sejak tahun 2006.
Gunretno, salah satu tokoh muda komunitas Sedulur Sikep menuturkan, aksi protes yang dilakukan oleh petani Kendeng tidak semata bertujuan untuk mempertahankan hak hidup petani yang ada di Kabupaten Rembang saja, melainkan demi kelestarian alam di Jawa Tengah.
Aktivitas penambangan di kawasan karst, kata Gunretno, memiliki dampak yang merusak bagi keberadaan sumber air di bawah Pegunungan Kendeng. Sementara, para petani di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan bergantung pada sumber air dari pegunungan itu.
(Baca: Patmi Tidak Mau Pulang karena Ingin Tetap Berjuang untuk Kendeng...)
"Jawa Tengah seharusnya menjadi lumbung pangan karena daya tampung pulau Jawa itu tidak lagi mendukung untuk kegiatan eksploitasi seperti pabrik semen," ujar Gunretno dalam sebuah diskusi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/3/2017).
Dalam wawancara dengan jurnalis senior Harian Kompas Maria Hartiningsih pada Agustus 2014, Gunretno mengatakan, menolak tambang dan pembangunan pabrik semen di wilayah di Pegunungan Kendeng Utara adalah perjuangan mempertahankan Tanah Air, yang artinya menjaga tanah dan air, demi kehidupan.
Perjuangan itu juga bisa dibaca sebagai upaya merebut kembali otoritas diri (dan komunitas), beserta seluruh definisinya. Komunitas Sedulur Sikep tidak silau oleh iming-iming ”kemakmuran dan kesejahteraan” dari pemodal.
Bagi mereka, kemakmuran dan kesejahteraan tidak dihitung dari nilai materi, seperti pangkat, derajat, uang, kuasa, tetapi seger-waras dan kemandirian sebagai petani. Artinya, faktor produksi yang mendukung pertanian, terutama air, tanah, dan manusianya, harus dijaga dan dirawat.
Merunut sejarah, perjuangan komunitas itu selalu terkait dengan kedaulatan hidup.
Pada November 2015, warga dari sejumlah desa yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menggelar aksi berjalan kaki sejauh 122 kilometer dari Sukolilo, Kabupaten Pati menuju Kota Semarang, Jawa Tengah.
(Baca: Gubenur Jateng Utus Staf Temui Keluarga Mendiang Patmi Petani Kendeng)
Aksi berjalan kaki yang ditempuh selama dua hari itu dimaknai sebagai wujud perjuangan mencari keadilan saat menghadiri sidang putusan dalam gugatan atas izin pertambangan PT Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT Indocement.
Di tahun yang sama mereka juga pernah melakukan aksi membunyikan lesung sebagai tanda "bahaya" di depan Istana Kepresidenan. Tujuan mereka adalah agar bisa berdialog dengan Presiden Jokowi.
Kemudian pada 12 April 2016, sembilan petani perempuan yang kerap disebut "Kartini Pegunungan Kendeng", mendatangi Jalan Medan Merdeka Barat, seberang Istana Negara. Mereka mengecor kaki dengan semen sebagai bentuk protes terhadap pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang.
Sembilan "Kartini Pegunungan Kendeng" tersebut merupakan para petani yang berasal dari Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan.
(Baca: Jokowi Belasungkawa atas Meninggalnya Seorang Petani Kendeng)
Secercah harapan sempat muncul ketika Presiden Jokowi mengundang sembilan Kartini Kendeng untuk berdialog di Istana Negara, Selasa (2/8/2016). Dari pertemuan itu, pemerintah berjanji akan melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) di Pegunungan Kendeng. Selama kajian dilakukan, pabrik semen dilarang untuk beroperasi.
Kajian dilakukan di bawah koordinasi Kepala Staf Kepresidenan dengan melibatkan berbagai instansi, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, hingga pemerintah daerah setempat.
Namun, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru mengeluarkan izin baru untuk PT Semen Indonesia di wilayah Pegunungan Kendeng bernomor 660.1/6 Tahun 2017 tertanggal 23 Februari 2017.
Terbitnya izin lingkungan baru membuat Petani Kendeng kembali melakukan aksi mengecor kaki pada Senin (13/3/2017) hingga Senin (20/3/2017). Jumlahnya pun bertambah mencapai 50 orang. Sayangnya, sampai aksi itu berujung pada wafatnya Patmi, tuntutan para petani Kendeng tidak terpenuhi.