JAKARTA, KOMPAS.com - Wajah Yu Sukinah terlihat sayu. Energinya terkuras habis setelah sore tadi melakukan aksi protes dengan membenamkan kakinya ke dalam kotak berisi adukan semen.
Dia hanya bisa terduduk di atas kasur. Sesekali dia merebahkan badan untuk menghilangkan rasa pegal yang mendera punggungnya. Sejak pukul 15.00 WIB, Senin (13/3/2017) Sukinah bersama sembilan Petani Kendeng lainnya berunjuk rasa di depan Istana Negara.
Aksi semen kaki itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap izin lingkungan baru bagi PT. Semen Indonesia yang diteken Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dengan terbitnya izin tersebut kegiatan penambangan karst PT. Semen Indonesia di Rembang masih tetap berjalan.
Dari depan Istana, para petani yang berasal dari sejumlah daerah di Pengunungan Kendeng itu dibawa ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Mereka disediakan tempat untuk menginap di ruang "PK Ojong" oleh pihak LBH yang menjadi pendamping hukum para Petani Kendeng.
Meski unjuk rasa sudah berakhir sejak sore tadi, namun kaki mereka tetap dibelenggu semen.
(Baca: Pupusnya Harapan Kartini Pegunungan Kendeng...)
Agus Sudarto (30 tahun), petani asal Purwodadi, mengatakan mereka bersepakat tidak akan membuka belenggu semen di kaki hingga mereka berhasil ketemu Presiden Joko Widodo.
Jika Presiden Jokowi bersedia bertemu, mereka akan meminta Presiden segera mencabut izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Ganjar dan menghentikan kegiatan penambangan karst oleh pabrik semen yang dinilai merusak lingkungan.
"Saya ndak tahu sampai kapan, Mas. Yang pasti ya semen ini baru dibuka setelah bertemu pak Jokowi," ujar Agus saat ditemui di kantor LBH Jakarta, Senin (13/3/2017).
Protes masyarakat Kendeng telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pada April tahun lalu, sembilan petani perempuan yang kerap disebut Kartini Pegunungan Kendeng, mendatangi jalan Medan Merdeka Barat, seberang Istana Negara.
Mereka mengecor kaki mereka sebagai bentuk protes terhadap pendirian pabrik semen PT. Semen Indonesia. Sembilan Kartini Pegunungan Kendeng tersebut merupakan para petani yang berasal dar Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan.
Secercah harapan sempat muncul ketika Presiden Joko Widodo mengundang Sembilan Kartini Kendeng untuk berdialog di Istana Negara, Selasa (2/8/2016). Dari pertemuan itu, pemerintah berjanji akan melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) di pegunungan Kendeng.
(Baca: Jokowi Penuhi Tuntutan Petani Kendeng)
Selama kajian dilakukan, maka pabrik semen dilarang untuk beroperasi. Kajian akan dilakukan di bawah koordinasi Kepala Staf Kepresidenan dengan melibatkan berbagai instansi mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM hingga pemerintah daerah setempat.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki memperkirakan KLHS di wilayah pegunungan kendeng akan memakan waktu selama satu tahun. Ia memastikan selama kajian itu, pabrik semen di sana dilarang melakukan ekspolitasi tambang.
Kemudian saat sidang peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung memenangkan gugatan petani pegunungan Kendeng dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap PT Semen Indonesia.
Kemenangan tersebut membuat izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT. Semen Indonesia harus dibatalkan.
(Baca: Petani Kendeng Menang di MA Lawan PT Semen Indonesia)
Berdasarkan situs resmi MA, gugatan tersebut diputus pada tanggal 5 Oktober 2016 lalu. Amar putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan obyek sengketa. Obyek sengketa yang dimaksud ialah izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen milik PT. Semen Indonesia di pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, tertanggal 7 Juni 2012.
Namun, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru mengeluarkan izin baru untuk PT. Semen Indonesia di wilayah Pegunungan Kendeng bernomor 660.1/6 Tahun 2017 tertanggal 23 Februari 2017.
Dia mengatakan penerbitan izin lingkungan terbaru ini merupakan tindak lanjut atas rekomendasi dari tim Komisi Penilai Amdal (KPA).