Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguji Nyali KPK Mengusut Aktor Besar di Balik Korupsi E-KTP

Kompas.com - 10/03/2017, 08:43 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membutuhkan waktu hampir 3 tahun untuk menuntaskan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Naiknya berkas penyidikan ke tahap penuntutan tidak sekadar menujukan eksistensi KPK.

Hal itu juga menunjukkan nyali besar KPK dalam memproses hukum para elite politik yang terlibat korupsi.

Surat dakwaan terhadap dua mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, tidak hanya menguraikan secara detil proses terjadinya skandal yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Surat dakwaan yang disusun secara alternatif itu juga mencantumkan sejumlah nama besar.

Mereka mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pejabat Kementerian hingga beberapa korporasi diduga ikut menerima aliran dana korupsi e-KTP.

(Baca: Siapa Penerima "Fee" Terbesar dari Kasus Korupsi E-KTP?)

Aktor besar

Proyek pengadaan e-KTP terbagi menjadi dua tahap, dimulai dari pembahasan anggaran dan pengadaan barang.

Praktik suap terhadap sejumlah anggota DPR diawali adanya sejumlah pertemuan antara pimpinan Komisi II DPR, pengusaha, dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.

Salah satu orang yang berperan penting dalam memuluskan korupsi anggaran e-KTP adalah Setya Novanto, yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPR RI.

Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, beberapa kali pembahasan informal soal e-KTP dilakukan di ruang kerja Novanto.

Novanto diduga menjadi pendorong disetujuinya anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.

Secara spesifik, Novanto mengkoordinasikan seluruh ketua fraksi di DPR untuk menyetujui usulan anggaran e-KTP. 

(Baca: Diduga Atur Anggaran, Setya Novanto Tak Masuk Daftar Penerima "Fee" Kasus E-KTP)

Ia kemudian diberi jatah Rp 574 miliar dari total nilai pengadaan e-KTP.

Selain itu, puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 disebut menerima fee dari uang yang dianggarkan dalam proyek e-KTP.

Sejumlah nama yang diduga menerima uang, saat ini ada yang masih menjadi anggota DPR, kepala daerah, bahkan menjadi menteri anggota kabinet.

Beberapa nama yang diduga menerima uang yakni, Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Badan Anggaran DPR) sejumlah 1,4 juta dollar AS; Olly Dondokambey sejumlah 1,2 juta dollar AS; Tamsil Lindrung sejumlah 700.000 dollar AS, dan Mirwan Amir sejumlah 1,2 juta dollar.

Lainnya, Ganjar Pranowo sejumlah 520.000 dollar AS; Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI sejumlah 1,047 juta dollar AS; Yasona Laoly sejumlah 84.000 dollar AS; Khatibul Umam Wiranu sejumlah 400.000 dollar AS; M Jafar Hapsah sejumlah 100.000 dollar AS; Ade Komarudin sejumlah 100.000 dollar AS.

(Baca: Nama-nama di Dakwaan Kasus E-KTP Belum Tentu Terlibat, sebab...)

Jaksa KPK yakin bahwa Setya Novanto dan sejumlah anggota DPR RI lainnya ikut menerima uang dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.

"Uangnya kami yakini sudah terdistribusi semuanya. Poin-poin penting yang terdistribusi itu sudah kami sampaikan di dakwaan," ujar jaksa KPK, Irene Putrie di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3/2017).

Saat dikonfirmasi soal nama-nama besar itu, Ketua KPK Agus Rahardjo meminta semua pihak untuk menunggu proses pembuktian di pengadilan.

Menurut Agus, setiap pengembangan mengenai keterlibatan pihak-pihak tertentu akan ditentukan melalui gelar perkara.

"Insya Allah akan terus diproses. Doakan saja kami dapat menyelesaikan itu," kata Agus, di Gedung KPK Jakarta, Kamis.

Butuh keberanian

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting mengatakan, KPK tidak boleh berhenti hanya pada Irman dan Sugiharto.

KPK harus mengusut tuntas kasus ini dengan menjerat semua aktor dan jaringan yang terlibat, hingga membongkar modus yang dilakukan dalam mega korupsi e-KTP.

Menurut Miko, dengan karakteristik kasus yang demikian besar, potensi pelemahan terhadap KPK juga akan terbuka lebar.

Misalnya, sulit untuk tidak mengaitkan sosialisasi revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dengan proses pengungkapan kasus e-KTP ini.

Meski demikian, KPK diharapkan tetap berfokus pada pengungkapan kasus e-KTP yang terstruktur dan masif.

"Upaya memecah konsentrasi dan perlawanan balik berupa pelemahan terhadap KPK harus dilawan," kata Miko.

Kompas TV Nama Ketua DPR Setya Novanto disebut dalam kasus korupsi ktp elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Di saat yang hampir bersamaan, Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto membantah telah menerima uang dari proyek E-KTP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Prabowo Ajak PKS atau PDI-P ke Dalam Koalisi?

GASPOL! Hari Ini: Prabowo Ajak PKS atau PDI-P ke Dalam Koalisi?

Nasional
Ngabalin: Revisi UU Kementerian Negara untuk Kebutuhan Masyarakat, Paten Itu Barang...

Ngabalin: Revisi UU Kementerian Negara untuk Kebutuhan Masyarakat, Paten Itu Barang...

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Golkar: Baleg Mewakili Partai-partai

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Golkar: Baleg Mewakili Partai-partai

Nasional
Soal RUU Penyiaran, KIP: UU Pers Bilang Wartawan Tak Boleh Dihalangi

Soal RUU Penyiaran, KIP: UU Pers Bilang Wartawan Tak Boleh Dihalangi

Nasional
Temui Gubernur Jenderal Australia David Hurley, Prabowo Kenang Masa Jadi Kadet

Temui Gubernur Jenderal Australia David Hurley, Prabowo Kenang Masa Jadi Kadet

Nasional
Jemaah Haji Bersiap Menuju Makkah, Ketua PPIH Arab Saudi Pastikan Hak Jemaah Terpenuhi

Jemaah Haji Bersiap Menuju Makkah, Ketua PPIH Arab Saudi Pastikan Hak Jemaah Terpenuhi

Nasional
Soal RUU Penyiaran, Setara Institute: DPR dan Pemerintah Harus Perluas Partisipasi Publik

Soal RUU Penyiaran, Setara Institute: DPR dan Pemerintah Harus Perluas Partisipasi Publik

Nasional
PDI-P Bakal Jemput Bola Kader untuk Maju di Pilkada Sumut

PDI-P Bakal Jemput Bola Kader untuk Maju di Pilkada Sumut

Nasional
Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen TNI AD, Dian Andriani Harap Kowad Lain Menyusul

Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen TNI AD, Dian Andriani Harap Kowad Lain Menyusul

Nasional
Jokowi Bakal Tinjau Lokasi Banjir Lahar di Sumbar Pekan Depan

Jokowi Bakal Tinjau Lokasi Banjir Lahar di Sumbar Pekan Depan

Nasional
Nurul Ghufron Tak Hadir karena Belum Tuntas Siapkan Pembelaan, Dewas KPK Tunda Sidang Etik

Nurul Ghufron Tak Hadir karena Belum Tuntas Siapkan Pembelaan, Dewas KPK Tunda Sidang Etik

Nasional
PDI-P Tuding Jokowi Cawe-cawe Pilkada dengan Bansos Beras, Ngabalin: Segera Lah Move on

PDI-P Tuding Jokowi Cawe-cawe Pilkada dengan Bansos Beras, Ngabalin: Segera Lah Move on

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Ngabalin: Mudah-mudahan Cepat, Itu Arah Haluan Prabowo-Gibran

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Ngabalin: Mudah-mudahan Cepat, Itu Arah Haluan Prabowo-Gibran

Nasional
Risma Relokasi 2 Posko Pengungsian Banjir Lahar Dingin di Sumbar yang Berada di Zona Merah

Risma Relokasi 2 Posko Pengungsian Banjir Lahar Dingin di Sumbar yang Berada di Zona Merah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com