Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaum Perempuan di Antara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi

Kompas.com - 09/03/2017, 08:48 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

Bahkan, seringkali perempuan yang menjadi korban pelecehan justru disalahkan, misalnya karena berpakaian yang tak sesuai norma kesopanan.

"Perempuan yang mengalami kekerasan itu kan sebenarnya merupakan korban dari sistem patriarki," ujar Yuniyanti, saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/3/2017). '

Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan adanya regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi kaum perempuan dan menyuburkan budaya patriarki.

Yuniyanti mencontohkan, posisi perempuan secara jelas ditempatkan secara tidak setara dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 4 UU Perkawinan menyatakan seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan.

Namun, tidak ada pasal mengatur jika keadaan tersebut justru dialami oleh pihak suami.

"Bagaimana kalau keadaannya dibalik, ternyata suami yang tidak bisa memberikan keturunan. apakah boleh istri meninggalkan suami. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi karena relasi perkawinan kan bukan hanya dimensi biologis," ujar dia.

Contoh lainnya, terkait penetapan batas umur minimum bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebut perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Menurut Yuniyanti, rendahnya batas usia minimum bagi perempuan tersebut mengukuhkan atau melegalkan perkawinan anak.

"Atau bisa dibilang melegalkan perkosaan terhadap anak melalui institusi perkawinan," kata Yuniyanti.

Yuniyanti menuturkan, kebijakan memberikan dispensasi perkawinan adalah ruang penyuburan dan pelanggengan perkawinan anak.

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, tahun 2016 terdapat 8.488 perkara dispensasi perkawinan yang dikabulkan oleh pengadilan agama.

Artinya, ada 8.488 perkawinan anak di bawah umur yang disahkan oleh negara.

Praktik perkawinan anak, kata Yuniyanti, berkontribusi pada angka kekerasan terhadap perempuan.

"Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menolak permohonan uji materi untuk menaikkan batas usia perkawinan anak turut mengukuhkan praktik perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak perempuan," papar dia.

Berangkat dari fakta tersebut, Yuniyanti berpendapat bahwa dari sisi legislasi, banyak peraturan yang harus direvisi agar bisa menenpatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki.

Pemerintah juga perlu berupaya.mengubah paradigma patriarki melalui institusi strategis, baik melalui lembaga agama, lembaga pendidikan, lembaga budaya, dan media massa.

"Memang sangat penting untuk membangun paradigma baru. Dan tentunya, perempuan korban kekerasan juga perlu didukung agar dia bisa menjadi penyintas," ujar Yuniyanti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com