Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaum Perempuan di Antara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi

Kompas.com - 09/03/2017, 08:48 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komnas Perempuan mencatat terdapat 259.150 kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2016.

Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi.

Catatan ini dikeluarkan Komnas Perempuan dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret.

Di ranah personal, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati peringkat pertama dengan 5.784 kasus.

Disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus.

Kekerasan personal tertinggi terjadi melalui kekerasan fisik 42 persen, kekerasan seksual 34 persen, kekerasan psikis 14 persen.

Sisanya, terjadi kekerasan ekonomi.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, dari catatan tersebut, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama 2016 cenderung menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Meski demikian, dari sisi realitas, belum bisa disimpulkan bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan juga menurun.

Yuniyanti meyakini masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Dari fakta yang ada, kasus kekerasan terhadap perempuan masih terus berulang.

Lalu apa yang menjadi faktor utama tindak kekerasan terhadap perempuan?

Menurut Yuniyanti, sebagian besar kasus kekerasan terjadi karena adanya budaya patriarki yang masih kental di masyarakat.

Budaya patriarki menempatkan posisi sosial kaum laki-laki lebih tinggi daripada kaum perempuan.

Sehingga, masyarakat cenderung menganggap wajar adanya perilaku pelecehan terhadap perempuan dalam bentuk sekecil apa pun.

Bahkan, seringkali perempuan yang menjadi korban pelecehan justru disalahkan, misalnya karena berpakaian yang tak sesuai norma kesopanan.

"Perempuan yang mengalami kekerasan itu kan sebenarnya merupakan korban dari sistem patriarki," ujar Yuniyanti, saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/3/2017). '

Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan adanya regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi kaum perempuan dan menyuburkan budaya patriarki.

Yuniyanti mencontohkan, posisi perempuan secara jelas ditempatkan secara tidak setara dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 4 UU Perkawinan menyatakan seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan.

Namun, tidak ada pasal mengatur jika keadaan tersebut justru dialami oleh pihak suami.

"Bagaimana kalau keadaannya dibalik, ternyata suami yang tidak bisa memberikan keturunan. apakah boleh istri meninggalkan suami. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi karena relasi perkawinan kan bukan hanya dimensi biologis," ujar dia.

Contoh lainnya, terkait penetapan batas umur minimum bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebut perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Menurut Yuniyanti, rendahnya batas usia minimum bagi perempuan tersebut mengukuhkan atau melegalkan perkawinan anak.

"Atau bisa dibilang melegalkan perkosaan terhadap anak melalui institusi perkawinan," kata Yuniyanti.

Yuniyanti menuturkan, kebijakan memberikan dispensasi perkawinan adalah ruang penyuburan dan pelanggengan perkawinan anak.

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, tahun 2016 terdapat 8.488 perkara dispensasi perkawinan yang dikabulkan oleh pengadilan agama.

Artinya, ada 8.488 perkawinan anak di bawah umur yang disahkan oleh negara.

Praktik perkawinan anak, kata Yuniyanti, berkontribusi pada angka kekerasan terhadap perempuan.

"Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menolak permohonan uji materi untuk menaikkan batas usia perkawinan anak turut mengukuhkan praktik perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak perempuan," papar dia.

Berangkat dari fakta tersebut, Yuniyanti berpendapat bahwa dari sisi legislasi, banyak peraturan yang harus direvisi agar bisa menenpatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki.

Pemerintah juga perlu berupaya.mengubah paradigma patriarki melalui institusi strategis, baik melalui lembaga agama, lembaga pendidikan, lembaga budaya, dan media massa.

"Memang sangat penting untuk membangun paradigma baru. Dan tentunya, perempuan korban kekerasan juga perlu didukung agar dia bisa menjadi penyintas," ujar Yuniyanti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies di Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies di Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com