JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Kehormatan DPD RI Andi Mappetahang Fatwa menanggapi pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra yang menyebut bahwa DPD seharusnya fokus menjalankan fungsinya sebagai perwakilan daerah.
Saldi menilai, DPD terlalu sibuk dengan konflik internal lembaganya.
Fatwa menganggap penilaian itu sebagai pandangan dari mereka yang hanya melihat DPD dari luar.
"Saya anggap itu pandangan positif sebagai pakar yang mengamati dari luar. Namun kondisi objektif internal tentu berbeda dengan Anggota DPD sendiri yang mengalami langsung masalahnya," kata Fatwa, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (8/3/2017).
Ia mengatakan, hal utama yang menjadi pemicu persoalan adalah keterbatasan kewenangan DPD.
(Baca: "DPD Memprihatinkan, Kewenangan Terbatas tetapi Cakar-cakaran")
Akan tetapi, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang diharapkan menjadi pintu masuk memperkuat wewenang DPD tak kunjung terwujud.
"Jokowi (Presiden Joko Widodo) pasti tidak ingin terganggu pemerintahannya. Padahal, amandemen pasti dibarengi dengan hiruk-pikuk politik," kata Anggota Komite I DPD itu.
Fatwa juga mengkritik gaya kepemimpinan DPD yang cenderung seperti pimpinan perusahaan. Hal itu diperparah dengan terjeratnya mantan Ketua DPD Irman Gusman dalam kasus korupsi.
Pada kondisi seperti saat ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 atas uji materi yang diajukan DPD RI tak diindahkan oleh DPR.
Putusan itu menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR mengikutsertakan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah, sebelum mengambil persetujuan bersama antara Pemerintah dan DPR.
Selain itu, hakim MK juga memutuskan bahwa DPD memiliki wewenang mengajukan RUU berkaitan daerah.
"DPD tidak dianggap oleh DPR," kata Fatwa.
(Baca: Refly Harun: Harus Ada Penegasan soal Posisi DPD)
Untuk mempermudah komununikasi dengan DPR, kata Fatwa, ia sudah pernah menyarankan agr setiap anggota DPD memiliki orientasi partai politik yang jelas.
Namun, hanya sebatas menjadi dewan pembina, penasehat, atau dewan kehormatan, tidak terlibat aktif dalam kepengurusan harian.
Ia justru menyayangkan adanya "bedol desa" yang terjadi beberapa waktu lalu.
Puluhan anggota DPD ke partai politik. Hal itu dianggapnya tak etis meski tak melanggar undang-undang.
"Undang-Undang tidak ada masalah. Cuma kalau sudah menjadi orang pertama di partai, ini tentu bagaimana masyarakat menilai ini. Undang-undang tidak melanggar tapi dalam politik ada etika kepantasan," kata dia.
"Saya sendiri berpendapat bahwa dalam perjuangan politik itu diperlukan kesabaran politik dengan memperhitungkan segala kondisi, dan yang terpenting adalah konsistensi serta punya akhlak politik negarawanan," lanjut dia.
Sebelumnya, Saldi Isra prihatin dengan kondisi internal DPD.
Ia juga menyayangkan adanya intervensi partai politik di DPD dengan mengajak sebagian anggota DPD menjadi kader Partai Hanura.
Padahal, menurut Saldi, fungsi perwakilan yang dihadirkan DPD bukanlah merepresentasikan parpol, tetapi wilayah, sehingga mampu menghasilkan perspektif nasional dalam membangun Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.