JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penambahan kursi Dewan Perwakilan Rakyat bergulir seiring dilakukannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu). Kursi anggota DPR yang kini berjumlah 560 dirasa sejumlah fraksi belum proporsional.
Beberapa fraksi seperti Golkar, Nasdem, dan Gerindra sepakat untuk mengusulkan penambahan kursi menjadi 570. Kemudian PKB mengusulkan jumlah kursi dari 560 menjadi 619 kursu.
Argumentasi yang melatarbelakangi usulan penambahan kursi adalah munculnya daerah pemekaran baru dan tidak proporsionalnya jumlah kursi dengan jumlah penduduk Indonesia.
Namun, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menilai bahwa wacana penambahan jumlah kursi di DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) tidak menjawab persoalan mengenai proporsionalitas representasi politik antara masyarakat dan wakilnya.
Menurut Khoirunnisa, yang seharusnya ditekankan dalam menjawab persoalan representasi adalah realokasi kursi.
"Memang harus ada pemerataan kursi yang adil bagi seluruh daerah. Namun bukan dengan cara menambah tapi lebih tepat jika realokasi," ujar Khoirunnisa dalam diskusi bertema Merespon Pembahasan RUU Pemilu: Mewujudkan RUU Pemilu yang Adil dan Proporsional di kantor Wahid Institute, Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2017).
(Baca: Alasan Sejumlah Fraksi Gulirkan Penambahan Kursi DPR)
Berdasarkan catatan Perludem, sejak Pemilu 1955 sampai dengan Pemilu 2014 telah terdapat lima kali perubahan besaran jumlah kursi di DPR.
Di pemilu 1955 jumlah kursi DPR berjumlah 260 kursi. Sedangkan sejak pemilu 1971 sampai dengan pemilu 1982 jumlah kursi berubah menjadi 460 kursi.
Perubahan terjadi pula pada pemilu 1987 sampai dengan pemilu 1999 yakni sebanyak 500 kursi. Pada pemilu 2004 berubah menjadi 550 kursi.
Kemudian di dua pemilu terakhir jumlahnya bertambah lagi menjadi 560 kursi.
Meski demikian, kata Khoirunnisa, perubahan jumlah kursi yang terjadi tidak disesuaikan dengan proporsionalitas alokasi kursi ke provinsi.
Untuk pemilu 2014, masih banyak provinsi yang mengalami under representated atau memperoleh kursi yang tidak sesuai dengan jumlah penduduknya. Selain itu terdapat pula provinsi yang memperoleh kursi berlebih.
(Baca: Penambahan Kursi di DPR Bukan Solusi untuk Permasalahan Proporsionalitas)
Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Riau merupakan daerah yang kekurangan kursi. Riau misalnya, dengan jumlah penduduk sebanyak 5.543.031 jiwa seharusnya berhak meraih 13 kursi di DPR. Realitanya, hanya dialokasikan 11 kursi. Begitu pula dengan Jawa Tengah yang seharusnya memperoleh 77 kursi, bukan 75 kursi.
"Sejatinya proporsionalitas alokasi kursi ke masing-masing haruslah terjamin. Namun dari data itu terlihat penambahan kursi tidak menjamin adanya proporsionalitas representasi dari tiap provinsi," kata Khoirunnisa.
Di sisi lain, Khoirunnisa berpendapat penambahan kursi di DPR juga akan menimbulkam persoalan baru yang lebih rumit terkait anggaran.
Dengan bertambahnya jumlah kursi, maka bertambah pula alokasi anggaran untuk membayar gaji anggota dewan. Padahal, saat ini pemerintah sedang menerapkan penghematan anggaran.
"Wacana itu harus juga melihat kemampuan negara ini. Akan muncul persoalan baru dari penambahan kursi misalnya anggaran untuk gaji anggota DPR," ucapnya.
Tak relevan
Pada kesempatan yang sama Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz.juga menyoroti wacana penambahan jumlah kursi di DPR. Donal berpendapat wacana tersebut tidak relevan jika dikaitkan para proporsionalitas keterwakilan daerah yang jumlah penduduknya semakin bertambah.
Menurutnya, langkah yang paling tepat untuk menjadi solusi dari masalah keterwakilan adalah pergeseran jumlah kursi dari daerah yang dianggap perwakilannya berlebih.
Selain itu, Donal menilai tidak adanya korelasi antara peningkatan jumlah anggota DPR dengan kualitas legislasi yang dihasilkan dan pengetatan pengawasan.
Sejak Pemilu 1955 hinga pemilu 2014, jumlah kursi di DPR semakin bertambah. Namun faktanya, kualitas legislasi tidak mengalami peningkatan.
(Baca: Wacana Penambahan Kursi di DPR seperti "Membeli Obat Tanpa Resep")
Hal tersebut, kata Donal, terbukti dari banyaknya undang-undang yang rontok saat diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
"Tidak ada korelasi peningkatan jumlah kursi di DPR dengan kualitas legislasi dan pengawasan. Kualitas legislasi semakin menurun, makin banyak UU yang rontok saat diuji di MK. Pengawasan juga hanya menjadi agregasi kepentingan politik saat ini," ucap Donal.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Budi Luhur, Sidik Pramono. Sidik berpendapat bahwa wacana tersebut tidak memiliki prinsip dasar yang jelas.
Selain itu, kata Sidik, pengguliran wacana penambahan kursi juga tidak disertai dengan basis data yang cukup.
"Dalam perumusannya terlihat sekali DPR seperti membeli obat tanpa tahu resep atau takarannya. Yang penting nambah kursi dulu, realokasi kursinya belakangan," ujar Sidik.
Menurut Sidik, soal penambahan kursi bukanlah hal yang mendesak untuk dibahas dalam RUU Pemilu. Sementara persoalan lain yang dinilai lebih penting, seperti mengenai pengaturan tentang politik uang justru belum menjadi perhatian utama.
Sidik menilai wacana penambahan kursi tidak menjadi solusi dari akar permasalaham yang terjadi, yakni realokasi kursi agar setiap daerah memiliki keterwakilan yang proporsional di DPR.
"Wacana penambahan kursi itu bergulir tanpa ada pendalaman ke akar permasalahannya. Sedangkan isu prioritas berada di bagian akhir dan diputuskan saat terakhir," ucap Sidik.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.