JAKARTA, KOMPAS.com – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, meski pembahasan pertama telah selesai, masih ada sejumlah persoalan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ada empat persoalan yang masih menjadi pekerjaan rumah DPR dan pemerintah.
Pertama, pengaturan terkait kejahatan terhadap ideologi negara yang terdapat pada Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara.
“Masalah utama perumusan pasal-pasal kejahatan ideologi tersebut masih menimbulkan banyak penafsiran, samar dan tidak jelas dapat berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia,” kata peneliti senior ICJR Anggara, dalam diskusi bertajuk ‘Siaga Kebebasan Berekspresi Pasca Pembahasan R KUHP: Mengekang Hak Asasi Manusia, Mengancam Demokrasi Seutuhnya’, di Jakarta, Rabu (1/3/2017).
Ia menyoroti Pasal 219 dan 220 soal penyebaran ajaran komunisme, dan Pasal 221 tentang peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila.
Menurut dia, rumusan pasal tersebut tidak rinci sehingga berpotensi menghadang kebebasan berekspresi.
Contohnya, tidak dijelaskan soal frasa unsur-unsur tindak pidana terkait ‘menyebarkan atau mengembangkan’, atau definisi ‘ajaran komunisme’ itu sendiri.
“Hal itu berpotensi menghadang kebebasan berekspresi dan berpotensi memperparah situasi insiden pembubaran diskusi, berkumpul, dan larangan penerbitan buku dan lain-lain yang diklaim sepihak sebagai ajaran Marxisme akan tetap terjadi di masa mendatang,” ujar Anggara.
Kedua, pengaturan soal kejahatan terkait tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah yang diatur dalam Pasal 284 dan 285 Buku II Bab V tentang Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum.
Menurut dia, munculnya pasal-pasal yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi tersebut akan memperkuat tren proteksi negara.
“Pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan pada penguasa disepakati oleh Pemerintah dan DPR masuk dalam KUHP. Meskipun mambawa logika perubahan dari delik formil menjadi delik materil, namun penggunaan pasal ini dipastikan akan sangat subjektif digunakan oleh negara untuk membungkam kritik dari masyarakat,” kata dia.
Berikutnya, pasal terkait penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.
Meski pembahasan terkait pasal tersebut ditunda, pemerintah beranggapan pasal tersebut harus tetap ada.
Anggara merujuk putusan MK yang sebelumnya telah membatalkan ketentuan itu.
“Materi ketentuan ini dicabut, mengaturnya kembali sama saja membangkang pada konstitusi,” ujar dia.
Terakhir, ICJR menyoroti soal penghinaan terhadap lembaga peradilan atau contempt of court (CoC).
Pada pembahasan awal, pemerintah meminta agar ada pengaturan tentang pengabaian perintah pengadilan, penghinaan terhadap hakim dan integritas pengadilan, hingga perlakuan tidak sopan di persidangan.
“Kondisi pembahasan khusus pasal CoC ini bisa sangat berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam CoC sangat sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia,” kata Anggara.
“Misalnya saja larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud,” lanjut dia.
Anggara menambahkan, delik penghinaan yang diatur dalam R-KUHP juga membebankan bagi pelaku tindak pidana.
Hal tersebut kontradiktif dengan pernyataan Kementerian Hukum dan HAM yang selama ini kerap mengeluhkan keterbatasan jumlah rutan dan lapas yang menampung terpidana.
Menurut dia, bentuk pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku bila pasal-pasal tersebut diterapkan, sebaiknya digantikan dengan jenis hukuman lain.
“Setidaknya penggunaan pidana denda sebagai ancamana pidana dalam pasal-pasal penghinaan,” kata dia.