JAKARTA, KOMPAS.com - Berulangnya aksi teror di Indonesia menuai pesan serius bagi pemerintah.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut, jangan -jangan pemerintah 'salah resep' sehingga tindak terorisme tidak kunjung lenyap.
"Resep" yang dimaksudkan Khairul, yakni program deradikalisasi.
"Semakin tampak pemerintah kini, ibarat dokter, salah resep, dengan gagasan deradikalisasi yang dibangun," ujar Khairul melalui sambungan telpon pada Senin (28/2/2017).
(Baca: Teror Bom Bandung dan Pelukan Ridwan Kamil)
Dugaan 'salah resep' ini baru tentang aksi teror. Belum sampai ke persoalan lain yang 'nyerempet' terorisme, antara lain blasphemy-based violence (kekerasan berbasis penghujatan).
Menurut Khairul, terlepas dari apakah aksi teror merupakan hasil proses alamiah, rekayasa atau konspirasi ancaman teror merupakan hal faktual dan berpotensi terus berulang, selama 'bibit-bibitnya' terus disemai.
"Apa itu 'bibit-bibitnya'? Yaitu ketidaktertiban, ketidakadilan, kesenjangan, diskriminasi, tindakan pemarjinalan, pemiskinan dan pembodohan terus terjadi," ujar Khairul.
"Membicarakan kesemuanya tanpa mendiskusikan struktur dan kondisi ekonomi-politik, termasuk kebijakan dan implementasinya sampai hari ini, adalah omong kosong. Buang-buang waktu dan menghabiskan energi saja," lanjut dia.
(Baca: Cerita 2 Siswa SMA yang Berani Kejar Pelaku Teror Bom Bandung)
Pada intinya, setiap rezim tidak boleh abai atas tanggungjawab untuk mencerdaskan, menjamin kesetaraan hak dan terwujudnya sistem hukum yang adil. Negara harus berupaya menghadirkan kesejahteraan materiil dan spirituil di seluruh penjuru negeri.
Khairul menyebut, sebuah ideologi tidak akan pernah mati. Oleh sebab itu, pemerintah diminta jangan melulu fokus pada ideologi dan penyebarannya.
"Jangan dulu bicara tinggi-tinggi soal de-ideologisasi dan restorasi. Mulai saja dengan memikirkan pemberdayaan dan kesejahteraan. Itu lebih manusiawi dan masuk akal," ujar dia.
Diberitakan, sebuah bom panci dengan daya ledak rendah meledak di Taman Pandawa, Jalan Arjuna, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Senin (27/2/2017).
Pelaku diketahui bernama Yayat Cahdiyat alias Dani alias Abu Salam. Ia adalah warga Purwakarta, kelahiran 24 Juni 1975.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyebut, pelaku aksi bom panci di Bandung merupakan pemain lama yang pernah ia tangkap saat latihan teroris di Aceh pada tahun 2011 silam.
(Baca: Ridwan Kamil: Motivasi Pelaku Teror Bom Bandung Enggak Jelas)
"Dia pernah ikut latihan teroris di Aceh Janto pada 2011. Dalam penangkapan itu, ada 70 orang ditangkap, termasuk dia. Waktu itu saya yang pimpin operasinya," kata dia seusai sidang Doktoral Menpan RB Asman Abnur di Unair Surabaya, Jatim, Senin (27/2/2017).
Tito menambahkan, polisi telah merekam pelaku tersebut karena dia masuk ke peta jaringan teroris. Namun, ketika disinggung identitas pelaku, dirinya enggan menjawab.
"Pelaku tercatat dalam Jamaah Ansharud Daulah Bandung, yang berafiliasi ke Aman Abdurahman (Maman). Pelaku ini pernah dihukum tiga tahun penjara," ujar dia.