JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis hak asasi manusia Todung Mulya Lubis menilai Kejaksaan Agung tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sikap Kejagung yang meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) perihal grasi terpidana mati yang sudah diputus MK sangat disesalkan.
"Tindakan Jaksa Agung itu tidak menghargai putusan MK dengan meminta fatwa," kata Todung di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (27/2/2017).
MK sebelumnya telah menganulir batasan waktu pengajuan grasi terpidana mati. Dengan putusan MK, pengajuan grasi menjadi tanpa batas waktu.
Namun, dengan adanya putusan MK itu, Kejagung menilai terpidana sengaja mengulur waktu mengajukan grasi agar terhindar dari eksekusi mati.
(Baca: Soal Eksekusi Hukuman Mati, Jaksa Agung Minta Fatwa ke MA)
Menurut Todung, Kejaksaan Agung tidak perlu meminta fatwa putusan MK. Pasalnya, putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Ini kan dua institusi yang berbeda sama sekali. MK keluarkan putusan yang sifatnya final and binding. Kalau sudah final dan mengikat apakah perlu ada fatwa," ujar Todung.
Todung menuturkan, putusan MK tersebut telah memulihkan hak terpidana mati. Putusan itu, lanjut dia, memberikan kesempatan bagi terpidana untuk membuktikan yang bersangkutan tidak bersalah.
(Baca: Kontras: Kejagung Ambisius Lakukan Eksekusi Mati, tapi Tak Ada Evaluasi)
"Di Jepang ada orang 48 tahun dipenjara menunggu eksekusi. Dan ternyata setelah 48 tahun dia dinyatakan tidak bersalah. Di Amerika banyak yang dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Karena ada bukti baru yang ditemukan," ucap Todung.
Pemerintah telah mengeksekusi empat terpidana mati pada 29 Juni lalu di Nusakambangan.
Kini tersisa sepuluh terpidana mati. Sepuluh terpidana mati itu antara lain, Merri Utami (Indonesia), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria). Kemudian, Obina Nwajagu (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), Eugene Ape (Nigeria), Pujo Lestari (Indonesia), dan Agus Hadi (Indonesia).