Alhasil, meskipun secara konseptual seharusnya yang saleh secara religius juga saleh secara sosial, tetapi seperti kita temui realitasnya bukan hanya tidak demikian, justru sebaliknya: semakin religius beragama malah semakin garang secara sosial.
Oleh karena itu, sejak awal, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempromosikan dan memperjuangkan pandangan syariat yang berbasis dan fokus pada pertimbangan maqashid al-syari'ah (tujuan syariat).
Sebab, di sanalah apa yang menjadi etika Islam dalam syariat terkandung.
Di mana kemaslahatan manusia menjadi tujuan utama: satu poin berorientasi ritual, yakni hifzh al-din (menjaga agama), dan selebihnya berorientasi sosial, yakni hifzh al- nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-'aql (menjaga akal), hifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), serta hifzh al-bi'ah (menjaga lingkungan).
Kesalehan sosial
Ekstrem dalam syariat merupakan ketentuan. Dikisahkan oleh Sayyidah Aisyah (istri Nabi) bahwa Nabi begitu hangat dalam waktu-waktunya bersamanya, tetapi ketika waktu ibadah tiba, ia seolah lupa pada istrinya. Ia beribadah hingga kakinya bengkak.
Di sisi lain, Nabi justru "mengharamkan" untuk dirinya salah satu jenis madu yang sebenarnya halal secara syariat lantaran demi membahagiakan istrinya yang tak suka pada aroma madu itu.
Maka, seorang Muslim seharusnya sangat ekstrem dalam ruang privat dengan syariatnya, tetapi ia juga sangat moderat dalam ruang publik dengan etikanya. Bukan malah terjebak dalam dualisme tersebut secara dikotomis.
Dalam filsafat kenabian (Islam), sesuatu yang jadi ciri paling khas filsafat Islam yang membedakannya dengan filsafat Yunani, perkara ini telah selesai: wahyu dan akal beriringan. Oleh karena itu, agama tak akan bermasalah dengan ruang publik yang rasional. Sebagaimana agama menjadi "bahan bakar" bagi "jihad kemerdekaan" di masa lalu.
Maka, dalam mistisisme Islam (tasawuf), hukum (syariat) dan etika (akhlak) adalah sesuatu yang integral.
Tak heran jika Nabi, yang meskipun ia telah "bertemu" Tuhan dalam mi'raj-nya sebagaimana menjadi puncak kesalehan religius, tetap kembali ke bumi, hidup di tengah-tengah masyarakat dan berinteraksi dengan kesalehan sosial.
Namun, ironisnya dalam keberislaman kalangan ekstremis, tasawuf justru dinilai sebagai bid'ah (kesesatan) sehingga Islam justru menjadi minus aspek paling mendasarnya: spiritualitas.
Akibatnya, keberislaman benarbenar hanya menjadi ritual, tanpa penghayatan etik-spiritual. Maka, ketika seorang saleh secara ritual, ia akan memonopoli kebenaran dan menuding-nuding sesat atau kafir bahkan sesama Muslim yang berbeda pandangan atau mazhab.
Paradoks dengan seorang sufi yang meskipun mereka benar-benar telah "bertemu" Tuhannya, justru semakin bijak menyikapi realitas.
Semua itu tentu bertolak dari kesalahpahaman atau bisa jadi penyelewengan. Sesuatu yang bisa terjadi di mana saja, termasuk kalangan sufi, di mana adanya kalangan mereka yang disebut "sufi malamati" yang menilai hakikat bisa dicapai tanpa syariat.