KOMPAS - Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan diselenggarakan 15 Februari 2017 lusa merupakan tahap kedua dari rangkaian pilkada serentak yang dilakukan hingga tahun 2023. Nantinya akan diselenggarakan pilkada serentak secara nasional yang dilakukan pada satu waktu untuk seluruh daerah pada tahun 2027.
Ilmuwan politik Robert Dahl, menegaskan bahwa salah satu tujuan pemilihan umum (termasuk Pilkada) adalah mengangkat pejabat-pejabat yang harus dilakukan secara teratur (relatively frequent), adil (fair), dan tanpa kekerasan (coercion).
Dalam pilkada setiap orang yang sudah dewasa (adult) memiliki hak suara (right to vote) dan memiliki hak untuk menentukan pilihannya.
Ketika tahap pencobolasan tinggal menghitung hari, masih ditemukan berbagai kritik terkait penyelenggaran Pilkada 2017. Jika persoalan ini tidak diantisipasi, maka dampak yang paling serius adalah pelanggaran hak asasi manusia, berupa penghilangan hak pilih warga Negara.
Problem e-KTP
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri yang hasilnya mengikat, berkenaan percepatan penggunaan e-KTP dari Pemilu 2019 menjadi Pilkada 2017, telah menimbulan konsekuensi yang pelik.
Menindaklanjuti persoalan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 556/KPU/X2016, tanggal 11 Oktober 2016, yang menyatakan apabila pada 4 Desember 2016 warga belum memiliki e-KTP dan/atau datanya belum terekam, maka tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Implikasi kebijakan tersebut sangatlah besar, tidak saja menyangkut persoalan teknis administaratif kependudukan, akan tetapi sebagai pemberangusan hak pilih warga negara.
Kondisi ini tercermin dari serangkaian temuan pra–Pilkada 2017 (rilis Komnas HAM RI), sengkarut e-KTP terjadi dari Aceh hingga Papua atau hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai contoh temuan ini ada di Kota Jayapura, Papua (127.000); Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (118.304); Kabupaten Lampung Barat, Lampung (31.000); Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera barat (1.115); Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (11.982); dan Jawa Tengah (21.400).
Persoalan ini menjadi kisruh dan menjadi sumber ketegangan antara pemerintah dan KPU yang kemudian disikapi dengan kebijakan penerbitan Surat Keterangan (SUKET) oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Meskipun demikian, bukan berarti persoalan seluruhnya dapat diantisipasi, karena salah satu syarat penerbitan SUKET adalah kepemilikan Kartu Keluarga (KK). Lantas, apakah pemerintah telah memastikan bahwa seluruh keluarga di Indonesia telah dipenuhi hak-haknya dengan pemberian dokumen KK?
Belum kelar persoalan tersebut, publik kembali dikejutkan dengan temuan paket berisi e-KTP di Bandara Soekarno-Hatta yang dikirim dari Kamboja. Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa kasus ini telah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Di berbagai media, disebutkan kasus ini disinyalir tak terkait peristiwa pilkada.
Potensi penyalahgunaan e-KTP untuk Pilkada 2017 bukan berarti tidak ada, akan tetapi dengan konsep pengamanan yang berlapis, ditunjang faktor saling mengenal petugas KPPS dengan penduduk setempat dan terdapat saksi-saksi pasangan calon, dapat mengeliminasi upaya penyalahgunaan tersebut.
Apapun alasannya, fakta temuan e-KTP menunjukan adanya itikad tidak baik dan upaya penggunaan untuk tidak pidana yang sangat merugikan kepentingan nasional secara luas.
Kelompok rentan
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menegaskan bahwa setiap warga negara yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin berhak untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada 2017.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.