Konsekuensi atas konstruksi hukum tersebut adalah memberikan kewajiban kepada pemerintah dan KPU untuk memastikan bahwa mereka terdaftar, mengedukasi dan memfasilitasi mereka untuk memilih.
Secara umum proses pendataan dilakukan berlapis, data kependudukan dari Kementerian Dalam Negeri RI, verifikasi oleh KPUD, penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS), verifikasi ulang (pencocokan dan penelitian) yang kemudian disempurnakan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Meskipun demikian, perhatian KPUD biasanya sebatas pemilih umum, belum menyentuh kelompok rentan.
Lantas siapakah kelompok rentan tersebut? Terdapat beberapa rujukan untuk memastikan mereka.
Pertama, Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan, yang disebut kelompok rentan adalah penyandang cacat (disabilitas fisik atau disabilitas mental), orang yang berusia lanjut, dan wanita hamil, mereka berhak mendapat bantuan khusus untuk meningkatkan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kedua, dalam Butir 3 Komentar Umum 21 Pasal 10 International Convention on Civil and Politic Right (ICCPR) menyatakan bahwa negara-negara pihak memiliki kewajiban positif terhadap orang-orang yang rentan karena status mereka yang dirampas kemerdekaannya atas dasar hukum dan kewenangan negara yang ditahan di penjara-penjara, rumah-rumah sakit, khususnya pasien rumah sakit jiwa, kamp-kamp penahanan, atau lembaga-lembaga pemasyarakatan atau di mana pun.
Ketiga, jaminan atas warga negara yang membutuhkan perlakuan khusus ini juga tercantum dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013.
Berbeda dengan orang atau penduduk pada umumnya yang harus secara aktif mendaftarkan data kependudukan yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, perceraian, atau kematian, Pasal 25 dan Pasal 26 yang menyebut kelompok rentan ini sebagai “penduduk rentan administrasi kependudukan” dan “penduduk yang tidak mampu mendaftarkan sendiri”, mengharuskan pemerintah untuk bertanggung jawab dalam proses pencatatan mereka sebagai penduduk.
Apabila pendataan saja masih bermasalah, kita tidak bisa berharap banyak terhadap pemenuhan hak-hak mereka. Pengabaian atas pemberlakuan kekhususan kelompok rentan ini dalam Pilkada 2017, baik oleh Pemerintah dan KPU (KPUD) ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dengan kesengajaan (by commission).
Pilkada yang berprespektif HAM
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengimplementasikan ICCPR khususnya terkait hak pilih dan memilih dengan menerbitkan Human Rights and Election: a Handbook on the Legal, Technical, and Human Rights Aspects of Elections sebagai panduan untuk memantau dan mengukur sejauh mana kualitas penyelenggaraan pemilu yang berbasis hak asasi manusia.
Panduan tersebut difokuskan pada 2 (dua) elemen utama dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu yang bebas (free election) dan pemilu yang adil (fair election).
Free election ditandai dengan 2 (dua) indikator utama, yaitu kehendak masyarakat berupa kebebasan memilih wakil yang representatif dan kebebasan menentukan status politik serta jaminan kebebasan di mana tidak boleh ada intimidasi dan pembatasan terhadap hak-hak mendasar, serta larangan adanya konsekuensi terhadap pilihan yang diambil oleh masyarakat.
Untuk itu, luasnya fasilitasi terhadap seluruh aspirasi politik warga negara menjadi sumber legitimasi jalannya pemerintahan mendatang.
Fair election difokuskan pada pihak-pihak yang dapat diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pemilu yang menekankan pada prinsip equal (setara), universal (berlaku universal), dan non-diskriminasi.
Aspek utama dalam fair election ini adalah kesiapan penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan pemilihan, mulai dari tahap pendataan, fasilitasi, logistik, hingga sosialisasi. Diskriminasi dilarang, baik dengan dasar ras, etnis, agama, dan pilihan politik.
Sedangkan kesetaraan dimaknai dengan istilah “one person, one vote” (satu orang, satu suara) yang kemudian di Indonesia diterjemahkan pada prinsip LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Merujuk pada instrumen hukum dan HAM tersebut di atas dan situasi menjelang tahap pencoblosan, sepertinya kita terlalu banyak berharap dari Pilkada 2017 kali ini, yang lebih meriah menyangkut kontestasi, dibanding substansi pilkada itu sendiri yang bertujuan mencari sosok pelayan rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.