Anomalitas makin terasa karena Nielsen menyebutkan, jika pada 2012 ada 102 koran yang diteliti, maka tahun 2016 hanya 98 koran. Demikian pula majalah berkurang dari 162 menjadi 120, sehingga logikanya seharusnya ada peralihan belanja iklan dari media cetak ke media online tersebut.
Faktanya, sekali lagi, pengelola media daring (sekalipun derivatif media cetak besar) masih gigit jari karena belum menemukan model bisnis ideal.
Situasi ini diperumit dengan para pengambil keputusan di perusahaan pemasang iklan. Dengan mayoritas termasuk golongan digital immigrant, mereka tetap memilih berbelanja iklan di media tradisional sekalipun terjadi perubahan prilaku pembaca yang signifikan.
Kedua, anomali terjadi karena media massa kian menuntut wartawannya menjadi jurnalis multimedia --untuk tidak menyebut palugada (apa lu mau gw ada) -- namun tanpa disertai peningkatan dari sisi reward.
Jurnalis hari ini bukan hanya bisa meliput dan menuliskan dalam sebuah bentuk press klarr, akan tetapi diminta juga bisa membantu perluasan kanal medianya. Misal wartawan media cetak, juga dituntut mengirim format berita audio visual sekalipun isinya still video.
Atau malah ada kejadian, mereka juga harus bantu publikasikan dari sisi media sosial akun kantornya sehingga pekerjaan berkalilipat. Sayangnya, beban bertambah ini tak disertai dengan penghargaan layak yang sebetulnya tak selalu harus berbentuk honor.
Ketiga, anomali terjadi karena media massa belum banyak yang menerapkan newsroom secara utuh. Tidak ada perbedaan satu divisi redaksi dengan lainnya, terutama saluran konvensional dengan new media.
Ini membuat proses operasional redaksi menjadi kurang efisien dan berdampak signifikan. Sebab, kerap ditemukan, satu media mengirim hingga beberapa orang dalam sebuah peristiwa sehingga peristiwa lain lolos diliput.
Tak bisa dipungkiri, dalam pengamatan penulis, ego dari pengelola redaksi saluran tradisional itu lebih kental, sehingga kerap malas bahkan enggan membantu kanal new media yang tengah dikembangkan perusahaan.
Poin ketiga ini memang saling kait mengkait dengan poin kedua, yang mana sudah natural jika pegawai dimanapun enggan mengeluarkan tenaga tambahan manakala tak dia rasakan benefit dalam berkontribusi lebih.
Keempat, media massa tahu bahwa dirinya akan selalu jadi rujukan publik namun secara sadar kerap dengan sadar menurunkan kepercayaan tersebut dengan menerapkan proses kerja terburu-buru dan sekedar mengutamakan kecepatan.
Ini membuat editor, koordinator liputan, dan bahkan pemimpin redaksi kerapkali mendesak jurnalis asal comot kutipan, narasumber, bahkan tebaran data yang belum pasti faktual. Terutama di media sosial dan belakangan di grup pesan instan.
Inilah yang akhirnya memunculkan fenomena sebuah berita merujuk kutipan status sebuah akun, yang sayangnya tidak dijadikan news peg (patokan awal berita), namun seutuhnya merujuk status media sosial semata. Kecepatan adalah raja.
Namun kita kemudian melihat sendiri, contohnya dalam berita penangkapan Patrialis Akbar, sekedar mengejar kecepatan membuat media mainstrean mengutip tiga lokasi penangkapan dan akhirnya mendegradasi kepercayaan masyarakat.
Kelima, seluruh pengelola media umumnya sepakat dengan ratifikasi Piagam Palembang 2010 bahwa wartawan harus lulus uji kompetensi wartawan. Namun setelah lulus, tak semua media mensyaratakan itu sebagai syarat promosi. Efeknya tak massif.