Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Sufyan Abd
Dosen

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

Anomali-anomali di Seputar Hari Pers Nasional 2017

Kompas.com - 09/02/2017, 19:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pada Kamis, 9 Februari 2017, digelar puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2017 di Lapangan Tantui, Ambon, Provinsi Maluku yang dihadiri Presiden Jokowi, Menkominfo Rudiantara, dan sejumlah public figure lainnya.

Ini menggenapi rangkaian kegiatan HPN yang sudah dimulai 21 Januari lalu berupa latihan kepemimpinan untuk pelajar SLTA. Serta prosesi inti sejak Senin, 6 Februari lalu seperti Seminar Seminar Dewan Pers menuju Pelaksanaan World Press Freedom Day, Pemaparan Hasil Survey Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia, dan Konvensi Nasional Media Massa.

Agar tak sekedar prosesi seremoni tahunan --apalagi tak semua insan pers sepakat dengan Keputusan Presiden RI No. 5/1985 yang ditandatangani Presiden Soeharto tentang hari pers Indonesia tersebut-- maka sangat perlu terus lakukan retropeksi pers guna faedah lebih baik ke depannya.

Dalam pemikiran penulis, yang kini menjadi akademisi dan praktisi public relations serta lama berkiprah sebelumnya sebagai jurnalis media cetak, ada sejumlah anomali-anomali di sekitaran HPN 2017 yang perlu dicari bersama solusinya.

Pertama, tren global yang masif terjadi ke Indonesia atas peralihan membaca media massa konvensional, sungguh tak serta merta meningkatkan sirkulir ekonomi pada media baru berbasis digital (new media).

Ketika misalnya, oplah dan tiras media cetak terus menukik, para praktisi media tak pernah surut harap karena di saat bersamaan, terjadi perpindahan habitual pembaca dari koran/tabloid/majalah ke kanal digital.

Maka, berbondong-bondonglah media massa melahirkan platform digital-nya guna mengakomodir perubahan prilaku tersebut. Tentu, semuanya pede, dengan sendirinya akan terjadi perpindahan bisnis media itu sendiri. Kenyatannya? Tidak.

Ambil contoh di Jawa Barat, sebab ini provinsi terbesar di Indonesia dengan 46 juta penduduk. Pada tahun lalu, total oplah seluruh koran sekitar 450.000 s.d 500.000 koran/hari. Jika diasumsikan satu koran dibaca tiga orang, maka tirasnya 1,5 juta orang.

Jumlah penduduk Jawa Barat sendiri akhir tahun 2016 mencapai 47 juta, dengan usia produktif sekitar 65% diantaranya (30 juta), maka penetrasi keterbacaan adalah masing-masing mencapai 3,191% dari total penduduk serta 5% dari usia produktif.

Angka sebesar ini berbanding lurus dengan pertumbuhan pengguna internet di provinsi tersebut kisaran 15% dari total pengguna internet Indonesia tahun lalu kisaran 120 juta atau 18 juta orang. Jadi, angka ini 12 kali lipat dari total pembaca koran!

Dalam survei Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung per awal Desember 2016 lalu, mencari informasi adalah motivasi kedua mengakses internet setelah akses media sosial. Artinya, ada potensi pasar bagi media dan advertiser di sini.

Akan tetapi, fakta di lapangan, iklan dan berbagai material bisnis reguler tidak serta merta pindah semuanya ke laman berita dari media cetak yang bahkan sudah berusia puluhan tahun lamanya di Tatar Sunda.   

Penulis kerap menerima keluhan dari para praktisi media massa, sekalipun pembaca menurun, pengiklan masih tetap memilih bentuk konvensional. Anomali ini membuat investasi di kanal digital yang dikeluarkan tak cepat berbuah manis.

Data secara nasional setali tiga uang. Nielsen Advertising Information Services menunjukan, total belanja iklan 2016 sebesar Rp134,8 triliun atau tumbuh 14% dari tahun sebelumnya --meneruskan tren kenaikan dari tahun 2012 Rp 84,3 triliun, 2013 (Rp 101,9 triliun), 2014 (Rp 110 triliun), dan 2015 (Rp 118 triliun).

Sekalipun demikian, alokasi belanja ya itu tadi masih ke media konvensional yakni didominasi 77% televisi, koran 22%, dan majalah 1%. Sisanya, yakni hanya 2%, diperebutkan oleh radio dan termasuk media massa daring.

Anomalitas makin terasa karena Nielsen menyebutkan, jika pada 2012 ada 102 koran yang diteliti, maka tahun 2016 hanya 98 koran. Demikian pula majalah berkurang dari 162 menjadi 120, sehingga logikanya seharusnya ada peralihan belanja iklan dari media cetak ke media online tersebut.

Faktanya, sekali lagi, pengelola media daring (sekalipun derivatif media cetak besar) masih gigit jari karena belum menemukan model bisnis ideal.

Situasi ini diperumit dengan para pengambil keputusan di perusahaan pemasang iklan. Dengan mayoritas termasuk golongan digital immigrant, mereka tetap memilih berbelanja iklan di media tradisional sekalipun terjadi perubahan prilaku pembaca yang signifikan.

Kedua, anomali terjadi karena media massa kian menuntut wartawannya menjadi jurnalis multimedia --untuk tidak menyebut palugada (apa lu mau gw ada) -- namun tanpa disertai peningkatan dari sisi reward.

Jurnalis hari ini bukan hanya bisa meliput dan menuliskan dalam sebuah bentuk press klarr, akan tetapi diminta juga bisa membantu perluasan kanal medianya. Misal wartawan media cetak, juga dituntut mengirim format berita audio visual sekalipun isinya still video.     

Atau malah ada kejadian, mereka juga harus bantu publikasikan dari sisi media sosial akun kantornya sehingga pekerjaan berkalilipat. Sayangnya, beban bertambah ini tak disertai dengan penghargaan layak yang sebetulnya tak selalu harus berbentuk honor.

Ketiga, anomali terjadi karena media massa belum banyak yang menerapkan newsroom secara utuh. Tidak ada perbedaan satu divisi redaksi dengan lainnya, terutama saluran konvensional dengan new media.

Ini membuat proses operasional redaksi menjadi kurang efisien dan berdampak signifikan. Sebab, kerap ditemukan, satu media mengirim hingga beberapa orang dalam sebuah peristiwa sehingga peristiwa lain lolos diliput.

Tak bisa dipungkiri, dalam pengamatan penulis, ego dari pengelola redaksi saluran tradisional itu lebih kental, sehingga kerap malas bahkan enggan membantu kanal new media yang tengah dikembangkan perusahaan.

Poin ketiga ini memang saling kait mengkait dengan poin kedua, yang mana sudah natural jika pegawai dimanapun enggan mengeluarkan tenaga tambahan manakala tak dia rasakan benefit dalam berkontribusi lebih.

Keempat, media massa tahu bahwa dirinya akan selalu jadi rujukan publik namun secara sadar kerap dengan sadar menurunkan kepercayaan tersebut dengan menerapkan proses kerja terburu-buru dan sekedar mengutamakan kecepatan.

Ini membuat editor, koordinator liputan, dan bahkan pemimpin redaksi kerapkali mendesak jurnalis asal comot kutipan, narasumber, bahkan tebaran data yang belum pasti faktual. Terutama di media sosial dan belakangan di grup pesan instan.

Inilah yang akhirnya memunculkan fenomena sebuah berita merujuk kutipan status sebuah akun, yang sayangnya tidak dijadikan news peg (patokan awal berita), namun seutuhnya merujuk status media sosial semata. Kecepatan adalah raja.

Namun kita kemudian melihat sendiri, contohnya dalam berita penangkapan Patrialis Akbar, sekedar mengejar kecepatan membuat media mainstrean mengutip tiga lokasi penangkapan dan akhirnya mendegradasi kepercayaan masyarakat.

Kelima, seluruh pengelola media umumnya sepakat dengan ratifikasi Piagam Palembang 2010 bahwa wartawan harus lulus uji kompetensi wartawan. Namun setelah lulus, tak semua media mensyaratakan itu sebagai syarat promosi. Efeknya tak massif.

Keenam, yang juga last but not least, peningkatan kapasitas daya beli sekaligus tingkat pendidikan masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir tidak pernah menjadi faktor pendukung peningkatan kinerja sebuah media massa.

Dengan makin sejahtera dan kian terpapar pendidikan kian bagus, maka lebih banyak yang kemudian diinvestasikan dalam kepemilikan duniawi yang konsumtif alih-alih meningkatkan kapasitas ruhani dengan kepemilikan literasi dari media massa.

Sangat jarang yang kemudian berusaha berlangganan banyak media massa guna asupan intelektual mereka saat tingkat kehidupan mereka merambat naik. Motor, mobil, rumah, tanah, dan aneka properti lain terus menjadi pilihan.

Maka, jangan kaget apalagi sewot jika faktanya miris begini; Kemampuan literasi orang Jakarta dewasa (25-65 tahun) lulusan minimal sekolah menengah atas lebih rendah dari kemampuan literasi masyarakat Eropa tingkat sekolah dasar (OECD PIAAC, 2016).

Enam anomali inilah yang masih bergelayutan dalam HPN 2017, sehingga media massa tanah air tak selalu menjadi rujukan utama masyarakat yang kini malah lebih gampang percaya berita bohong. Bersama kita tekan dan kurangi semua "ketidaknormalan" ini! Maju terus pers Indonesia!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Nasional
Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com