JAKARTA – KOMPAS.com - Tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar menambah daftar hakim MK berlatar belakang politisi yang terjerat tindak pidana korupsi.
Sebelum Patrialis (pernah menjadi kader PAN) tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Akil Mochtar (pernah menjadi kader Golkar) lebih dulu ditangkap.
Tak tanggung-tanggung, saat itu Akil menjabat sebagai Ketua MK. Akil tengah menjalani vonis seumur hidup.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai, tak semua hakim MK yang berlatarbelakang politisi memiliki rekam jejak yang buruk.
(baca: Patrialis Akbar, Mantan Politisi Kedua yang Terjerat Korupsi di MK)
Ia memberi contoh Mahfud MD dan Hamdan Zoelva yang dianggapnya memiliki rekam jejak bagus.
Keduanya berlatarbelakang politisi. Mahfud merupakan kader PKB, sementara Hamdan kader PBB.
Mahfud bahkan pernah membuat terobosan dengan memperdengarkan isi rekaman percakapan Anggodo Widjojo, terpidana kasus percobaan suap terhadap pimpinan dan penyidik KPK, saat sidang MK yang dipimpinnya berlangsung.
“Jadi bukan masalah dari politisi atau tidak, ini menyangkut sistem rekrutmen yang harus dibenahi agar lebih transparan,” ucapnya.
(baca: Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik)
Nasir mengkalim, sejauh ini dari tiga institusi yang berhak mengajukan nama hakim MK, hanya DPR yang menjalani mekanisme uji kepatutan dan kelayakan.
Sementara dari Presiden dan Mahkamah Agung (MA) belum menjalani mekanisme tersebut.
Hal senada disampaikan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Menurut Jimly, tak selamanya hakim berlatarbelakang politisi memiliki rekam jejak yang buruk.
(baca: Patrialis: Demi Allah, Saya Betul-betul Dizalimi)
Ia mengatakan, saat ini yang menyebabkan MK seperti ini ialah proses seleksi hakim yang belum menunjukan transparansi dan akuntabilitas.
Pertama, menurut Jimly, DPR dan MA salah kaprah dalam memahami aturan seleksi yang tertuang dalam UU MK Nomor 24 Tahun 2003.
“Dalam undang-undang tersebut kan jelas, hakim MK diajukan oleh Presiden, MA, dan DPR. Kata 'oleh' sama DPR dan MA, diartikan menjadi 'dari'. Padahal, hakim MK yang mereka usulkan tak harus hakim MA atau anggota DPR,” kata Jimly saat dihubungi.
Berikutnya, kata Jimly, selama ini calon hakim MK berlatarbelakang politisi tidak diharuskan vakum dari partai selama lima tahun sebagaimana persyaratan menjadi komisioner KPU.
(baca: Patrialis Akbar Diduga Menerima Hadiah Rp 2,15 Miliar)
Padahal, kata Jimly, hal itu penting dilakukan untuk menjaga netralitas sang hakim.
Jimly menambahkan, perlu adanya perubahan sistem masa kerja hakim MK. Semestinya, menurut dia, masa kerja hakim MK dibatasi usia, bukan periodesasi seperti sekarang.
Sehingga hakim tidak melulu terjebak pada dinamika politik yang ada pada saat rekrutmen.
“Harusnya pakai usia seperti MA, tapi tentu harus diawali dengan proses seleksi yang transparan dan akuntabel. Harus ada Perpres (Peraturan Presiden) atau Perma (Peraturan MA) yang membuat seleksi hakim MK transparan agar menjamin kenegarawanannya,” papar Jimly.
“Selain itu, harus ada pembenahan struktural dan kultural di MK. Struktur dan kultur kerja di MK harus menjamin agar para hakim terus menjadi seorang negarawan,” lanjut dia.
(baca: Ini Bukti yang Disita KPK Saat Tangkap Patrialis Akbar)
Akil terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa Pilkada dan tindak pidana pencucian uang.
Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa Pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).
Sedangkan, Patrialis ditangkap dalam operasi tangkap tangan, Rabu (25/1/2017). Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini diduga menerima suap sebesar sebesar 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi.
Perkara gugatan yang dimaksud, yakni uji materi nomor 129/puu/XII/2015. Pengujian tersebut terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.